Jumat, 30 Maret 2012

Alfin's cerpen

Don’t Disturb My Brother !
                                 
Alfinda Meilan


Senja telah tiba, suasana depan rumah sakit tempatku bekerja masih saja ramai. Disini aku merasa sangat sebal. Dua jam aku menunggu, namun sampai sekarang dia belum saja menampakkan batang hidungnya.
“Lupa kali ya itu orang jemput aku disini. Perasaan tiap hari jemputnya juga disini.” Keluhku.
      Aku berjalan mondar mandir sekedar menghilangkan amarahku. Beberapa saat kemudian aku dikagetkan dengan klakson mobil tepat menyala di depanku. Aku melihat mobil itu, dan segera menghampiri. Kaca mobil itupun terbuka.
 “Oh, masih inget ya kalo punya adik ?” omelku. Kakakku hanya tersenyum dan membukakan pintu mobil. Dengan kesal aku masuk dan menutup pintu mobil tanpa perasaan. Aku pasang muka masam.
“Aduh, Erlin. Maaf ya, tadi ada urusan sebentar di kantor. Yaa, semacam rapat mendadak gitu.” Kakakku mencoba menjelaskan.
“Iya, gak papa. Lagian kakak juga bukan sopir pribadiku.” Cetusku dengan dahi tertekuk.
Kakakku hanya bisa tersenyum dan membelai rambutku. Percakapan itupun berakhir. Aku melihat kakakku, teringat betapa sabarnya dia menghadapi segala omonganku yang sering kasar kepadanya. Yah, hanya kakakku yang bisa memadamkan api yang ada di hatikuku. Damar Ferdin Alanka, namanya. Dia adalah satu satunya orang yang aku sayangi di bumi ini, setelah 4 tahun sepeninggalan kedua orangtuaku. Dan namaku, Vianka Merlin. Aku adalah dokter muda di rumah sakit ternama di Jakarta. Aku dan Kak Damar tinggal berdua disalah satu apartemen daerah Kelapa Gading. Kak Damar  yang selalu membimbingku, dia adalah orang yang baik, sabar dan ramah. Meskipun aku sudah dewasa , tapi aku masih membutuhkan kasih sayang. Dan hanya kakakku yang mampu memberi itu semua. Kakakku meneruskan perusahaan alm.ayah. Banyak wanita yang tergila-gila karena ketampanannya, apalagi dia bisa dibilang pengusaha muda. Hmmmm, yah itulah kakakku.
Sampainya diapartemen tempat kami tinggal, aku segera ke kamarku. Melepas seragam putih yang membuatku gerah dan berganti baju santai, aku mengerutkan dahiku ketika ku lihat foto di meja.
“Apa apa an nih, kok masih ada disini sih.” Gumamku.
Sebuah foto yang membuat hatiku sakit. Ya, foto mantan kekasihku. Aku pegang foto itu dan menyobeknya. Mantan kekasih yang membuat hidupku kelam. Tak lama kemudian Kak dammar mengetuk pintu dan masuk ke kamarku.
“Erlin, makan yuk.” Ajak kak Damar.
Aku hanya termenung dengan keadaan tanganku yang penuh dengan sobekan kertas. Kak Damar mendekatiku, ia duduk disampingku sembari memelukku.
“Tak apa adikku sayang, lupakanlah semua yang telah terjadi. Ada aku yang ada disampingmu.” Hibur kak Damar.
“Aku hanya tak bisa melupakan betapa hancurnya hatiku karena dia, kak. Dia dulu adalah orang yang aku cinta. Tapi dengan tanpa bersalah dia menduakanku. Dia memutuskan semuanya, dan pergi dengan perempuan murahan itu.” Aku menangis di pelukan kak Damar.
“Iya kakak tau, cinta emang kayak gitu. Ga selamanya bikin seneng. Mending sekarang kita makan dulu yuk. Biar kamu juga ga sakit. Udah, ga usah mikirin David lagi. Laki-laki seperti itu tak pantas kamu pikirin.”
Aku memandang kakakku, hatiku serasa nyaman.
“Terima kasih, kak. Aku yakin bisa lebih baik tanpa dia. Dan aku masih punya kakak yang sangat aku sayangi.” Ucapku sembari tersenyum.
………………………………………………….
Beberapa hari kemudian, aku memperhatikan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh kakakku. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah. Lebih sering pulang malam, dan jarang makan bersama denganku. Dan aku pun merasakan kesepian.
Dirumah sakit tempatku bekerja, masih seperti biasa. Sebelum dua orang  wanita berpostur seperti model  dengan pakaian yang “waw” berjalan kearahku. Kayak pernah tau itu cewek deh.  Aku mencoba mengingat ingat,
“Ya, Ampun. Dinda”. Desahku.
Aku berjalan cepat menghindar, menundukkan kepala agar dia tak melihatku. Dinda dan temannya berjalan ke ruang doktor spesialis kandungan. Dinda adalah wanita yang membuat David pergi meninggalkanku. Sampai saat ini aku masih merasakan kekesalan yang menyelimuti batinku. Memang dia cantik, tapi aku sangat membenci dia. Aku mengangkat alis,dasar Cewek murahan, ga berubah dari dulu. Sok seksi dehhhhh. ngapain juga dia kesini. Kenapa ya. Perasaan hatiku tak menentu. Satu jam kemudian mereka berdua keluar dan duduk diruang tunggu. Berbincang dengan asiknya. Aku mencoba mendekati mereka tanpa mereka ketahui. persis intel nih aku, kayak orang kurang kerjaan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mendengar obrolan mereka.
“Eh, gimana pacar kamu, Din?” Tanya temannya.
“AH, biasa aja. Kemarin aku habis dibeliin laptop sama dia. Habis laptopku rusak sih.” Terang Dinda
“Wah, enak banget. Coba aja pacarku bisa kayak pacarmu, Din. Udah tampan, gagah, baik hati, udah kerja juga malah.”
“Aduh, ngimpi deh kamu punya pacar kayak punyakku. Helloooooo”
Iiiuuuccchhh, alay banget deh, pikirku.
“Wah, sialan kamu. Terus-terus, dia udah tau kamu kayak gini?” Tanya temennya lagi.
“Aduhh, ya gak lah. Mau jadi apa aku kalo dia tau aku hamil.”
“Ya mungkin aja dia mau tanggung jawab.”
……………………………
 Aku segera pergi dari mereka.
“Ha, gila banget Dinda hamil. Emang dia udah nikah apa sama David.”
Hari itu lagi lagi, perasaanku menjadi tak menentu. Dan sorenya, aku terpaksa naik bis kota untuk pulang ke apartemen. Betapa terkejutnya aku setelah melihat Dinda berada di depan tv bersama kakakku. Dengan sepiring mie yang berada di tangan kak Damar.
Aku melepas jaket dinasku, dan berjalan menghampiri mereka.
“APA APA AN INI? Ngapain kamu disini, dasar cewek bejat.” Amarahku menggelegar.
“Eh, Erlin. Kamu ga boleh kayak gitu.” Kak Damar menyela. Menengahi diriku diantara Dinda.
Dinda terkejut dia mencoba menata bajunya. Dan berdiri.
“Oh, jadi ini pacar kamu, kak? Cewek kayak gini mau kamu jadiin pacar?” dengan nada tinggi aku memarahi kak Damar.
Kak Damar menarikku kedalam kamar, aku tahu dia emosi.
“Kak ga ada cewek lain apa? Kenapa harus dia yang jadi pacarmu kak? Aku ga mau.” Marahku.
“ Kamu kenapa kok bisa kayak gini sih? Dinda itu baik.”
“Baik dari mana? Dia itu cewek murahan kak. Aku ga mau kakak sama cewek seperti itu.”
“ CUKUP ERLIN, kamu gak tau apa apa tentang Dinda. Awalnya aku mau ngenalin Dinda ke kamu. Tapi kamu ga sopan sama dia, datang-datang bukannya bawa ketenangan tapi kamu malah marah-marah ga jelas.” Terang kak Damar.
“ Ya udah, urus aja tu pacar kamu yang sok cantik. Aku sebagai adikmu sudah kamu lupain, akhir-akhir ini kamu sering pulang larut malam, jadi jarang kamu perhatiin. Cuman gara-gara cewek murahan itu ! . DAN AKU GA PERLU KENALAN SAMA CEWEK BEJAT KAYAK DIA. GA BUTUHHHHHHHHHH !”
Aku mendorong kak Damar keluar kamar. Aku menutup pintu dengan amarah yang berapi-api di dadaku. Aku tak percaya kak Damar mau berpacaran dengan wanita sebejat Dinda. Andai kamu tau semuannya, kak.aku ga bakal rela kamu dengan dia.
…………………………………………………………………………………………………………….
Keesokkan harinya, aku libur kerja. Dan diapartemen cumin ada aku, dan tv yang menemaniku. Rasannya tak ada yang enak buat aku lakukan setelah kejadian kemarin. Bel tamu berbunyi, aku segera membuka pintu. Ternyata Dinda… aku sudah malas sekali melihat wajahnya.
“Damarnya ada?”
“Gak ada.” Jawabku cuek.
“Ya udah deh, aku nitip surat ini ke Damar ya.”
“Ngapain juga aku mau. Asalkan kamu tau ya, Kak Damar ga pantes buat cewek sebejat kamu.”
“Helloooo, sapa juga yang mau ngambil Damar dari kamu. Kakakmu aja yang udah jatuh cinta sama aku.”
“Belum puas ya kamu udah buat hancur hubunganku sama David. Sekarang kamu mau ngehancurin hubunganku sama kakakku sendiri? Kak Damar gak akan terima kalo kamu udah hamil.”
Dinda tersentak, dia terkejut ternyata aku mengetahui dia hamil.
“Oh, jadi Vianka Merlin ini sekarang udah jadi dokter yaaaa, tau aku udah hamil segala. Emang kamu punya bukti?”
Dengan senyum pahit aku mencoba menegaskan semuanya.
“KAMU GAK BAKAL BISA MEMILIKI KAKAKKU.”
Pintu segera aku tutup. Beberapa saat kemudian, aku baca surat darinya, ternyata surat keterangan doktor kalau Dinda harus melakukan operasi. Operasi apa an nih, jangan jangan dia. . . . . Tanpa pikir panjang aku segera menuju rumah sakit yang tertera pada surat itu. Dan ternyata Rumah sakit dimana aku bekerja.
Disana aku mencari dimana Dinda berada. Aku membuka pintu ruang operasi satu persatu, Disebuah ruangan, yaitu ruang ganti. Aku dapati Dinda, dia mengelus-elus perutnya yang belum terlihat buncit. Aku mendekat dan menarik bahunya.
“Oh, jadi mau operasi aborsi gitu yaaa?” sapaku.
“Loh, ngapain kamu disini?”
“Udah, ga usah banyak omong. Bilang aja iya, kalo kamu mau aborsi. Dasar cewek murahan.”
“Eh, asal kamu tau yaa. Ini anak David. Pacarmu aja yang murahan.”
“Ga usah bahas David lagi, dan dia bukan pacarku. Terserah itu mau anak siapa yang penting aku ga mau lihat kamu bersama kakakku. Asalkan kamu tau ya, semua kebahagiaanku udah kamu hancurkan!.
“Hahaha, so aku ga boleh bahagia sama Damar?” Tanya Dinda tanpa rasa bersalah.
“Ga boleh dan Gak akan BISA !” jawabku.
Aku mendekati Dinda dan mengeluarkan sebilah Pisau yang tajam. Dinda terkejut mendapati tanganku menggenggam pisau. Dia menjerit, namun kututup mulutnya dengan tanganku. Aku memojokkan Dinda. Amarahku semakin menjadi, bayangan kebahagiaanku bersama David dan Kak Damar yang telah dia rebut semakin membuatku ingin segera melakukan. . . . .
“DON’T DISTRUB MY BROTHER !” tegasku.
“AAARRRRRHHHHH…..”teriak Dinda sembari kubungkam lebih erat mulutnya.
Dengan sekuat tenaga aku menusuk Dinda dengan pisau yang ku genggam. Berulang kali. Hingga darah memunyembur kemukaku. Aku tak peduli, aku melampiaskan segala dendam dan amarahku. Dan yang aku bayangkan adalah, hidupku bisa lebih bahagia tanpa dia.
Aku merasakan keheningan, kurasakan nafas Dinda yang terhenti. Aku melepaskan bungkaman tanganku darinya. Aku tersenyum puas. Merasakan kemenangan atas pelampiasan dendam dan amarahku.
“Bye… mimpi indah.” Aku mencabut pisau yang tertancap di perut Dinda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar