Alfinda Meilan
Senja telah
tiba, suasana depan rumah sakit tempatku bekerja masih saja ramai. Disini aku
merasa sangat sebal. Dua jam aku menunggu, namun sampai sekarang dia belum saja
menampakkan batang hidungnya.
“Lupa kali ya itu orang jemput aku
disini. Perasaan tiap hari jemputnya juga disini.” Keluhku.
Aku
berjalan mondar mandir sekedar menghilangkan amarahku. Beberapa saat kemudian
aku dikagetkan dengan klakson mobil tepat menyala di depanku. Aku melihat mobil
itu, dan segera menghampiri. Kaca mobil itupun terbuka.
“Oh, masih inget ya kalo punya
adik ?” omelku. Kakakku hanya tersenyum dan membukakan pintu mobil. Dengan
kesal aku masuk dan menutup pintu mobil tanpa perasaan. Aku pasang muka masam.
“Aduh,
Erlin. Maaf ya, tadi ada urusan sebentar di kantor. Yaa, semacam rapat mendadak
gitu.” Kakakku mencoba menjelaskan.
“Iya, gak
papa. Lagian kakak juga bukan sopir pribadiku.” Cetusku dengan dahi tertekuk.
Kakakku hanya bisa tersenyum dan membelai rambutku. Percakapan itupun
berakhir. Aku melihat kakakku, teringat betapa sabarnya dia menghadapi segala
omonganku yang sering kasar kepadanya. Yah, hanya kakakku yang bisa memadamkan
api yang ada di hatikuku. Damar Ferdin Alanka, namanya. Dia adalah satu satunya
orang yang aku sayangi di bumi ini, setelah 4 tahun sepeninggalan kedua
orangtuaku. Dan namaku, Vianka Merlin. Aku adalah dokter muda di rumah sakit
ternama di Jakarta. Aku dan Kak Damar tinggal berdua disalah satu apartemen
daerah Kelapa Gading. Kak Damar yang selalu
membimbingku, dia adalah orang yang baik, sabar dan ramah. Meskipun aku sudah
dewasa , tapi aku masih membutuhkan kasih sayang. Dan hanya kakakku yang mampu
memberi itu semua. Kakakku meneruskan perusahaan alm.ayah. Banyak wanita yang
tergila-gila karena ketampanannya, apalagi dia bisa dibilang pengusaha muda.
Hmmmm, yah itulah kakakku.
Sampainya diapartemen tempat kami tinggal, aku segera ke kamarku. Melepas
seragam putih yang membuatku gerah dan berganti baju santai, aku mengerutkan
dahiku ketika ku lihat foto di meja.
“Apa apa an
nih, kok masih ada disini sih.” Gumamku.
Sebuah foto yang membuat hatiku sakit. Ya, foto mantan kekasihku. Aku
pegang foto itu dan menyobeknya. Mantan kekasih yang membuat hidupku kelam. Tak
lama kemudian Kak dammar mengetuk pintu dan masuk ke kamarku.
“Erlin,
makan yuk.” Ajak kak Damar.
Aku hanya
termenung dengan keadaan tanganku yang penuh dengan sobekan kertas. Kak Damar
mendekatiku, ia duduk disampingku sembari memelukku.
“Tak apa
adikku sayang, lupakanlah semua yang telah terjadi. Ada aku yang ada
disampingmu.” Hibur kak Damar.
“Aku hanya
tak bisa melupakan betapa hancurnya hatiku karena dia, kak. Dia dulu adalah
orang yang aku cinta. Tapi dengan tanpa bersalah dia menduakanku. Dia
memutuskan semuanya, dan pergi dengan perempuan murahan itu.” Aku menangis di
pelukan kak Damar.
“Iya kakak
tau, cinta emang kayak gitu. Ga selamanya bikin seneng. Mending sekarang kita
makan dulu yuk. Biar kamu juga ga sakit. Udah, ga usah mikirin David lagi.
Laki-laki seperti itu tak pantas kamu pikirin.”
Aku
memandang kakakku, hatiku serasa nyaman.
“Terima
kasih, kak. Aku yakin bisa lebih baik tanpa dia. Dan aku masih punya kakak yang
sangat aku sayangi.” Ucapku sembari tersenyum.
………………………………………………….
Beberapa hari kemudian, aku memperhatikan perubahan sikap yang ditunjukkan
oleh kakakku. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah. Lebih sering
pulang malam, dan jarang makan bersama denganku. Dan aku pun merasakan
kesepian.
Dirumah sakit tempatku bekerja, masih seperti biasa. Sebelum dua orang wanita berpostur seperti model dengan pakaian yang “waw” berjalan kearahku. Kayak
pernah tau itu cewek deh. Aku
mencoba mengingat ingat,
“Ya, Ampun.
Dinda”. Desahku.
Aku berjalan cepat menghindar, menundukkan kepala agar dia tak melihatku. Dinda
dan temannya berjalan ke ruang doktor spesialis kandungan. Dinda adalah wanita
yang membuat David pergi meninggalkanku. Sampai saat ini aku masih merasakan
kekesalan yang menyelimuti batinku. Memang dia cantik, tapi aku sangat membenci
dia. Aku mengangkat alis,dasar Cewek murahan, ga berubah dari dulu. Sok
seksi dehhhhh. ngapain juga dia kesini. Kenapa ya. Perasaan hatiku
tak menentu. Satu jam kemudian mereka berdua keluar dan duduk diruang tunggu.
Berbincang dengan asiknya. Aku mencoba mendekati mereka tanpa mereka ketahui. persis
intel nih aku, kayak orang kurang kerjaan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku
mendengar obrolan mereka.
“Eh, gimana
pacar kamu, Din?” Tanya temannya.
“AH, biasa
aja. Kemarin aku habis dibeliin laptop sama dia. Habis laptopku rusak sih.”
Terang Dinda
“Wah, enak
banget. Coba aja pacarku bisa kayak pacarmu, Din. Udah tampan, gagah, baik
hati, udah kerja juga malah.”
“Aduh,
ngimpi deh kamu punya pacar kayak punyakku. Helloooooo”
Iiiuuuccchhh, alay banget deh, pikirku.
“Wah,
sialan kamu. Terus-terus, dia udah tau kamu kayak gini?” Tanya temennya lagi.
“Aduhh, ya
gak lah. Mau jadi apa aku kalo dia tau aku hamil.”
“Ya mungkin
aja dia mau tanggung jawab.”
……………………………
Aku segera pergi dari mereka.
“Ha, gila
banget Dinda hamil. Emang dia udah nikah apa sama David.”
Hari itu lagi lagi, perasaanku menjadi tak menentu. Dan sorenya, aku
terpaksa naik bis kota untuk pulang ke apartemen. Betapa terkejutnya aku
setelah melihat Dinda berada di depan tv bersama kakakku. Dengan sepiring mie
yang berada di tangan kak Damar.
Aku melepas
jaket dinasku, dan berjalan menghampiri mereka.
“APA APA AN
INI? Ngapain kamu disini, dasar cewek bejat.” Amarahku menggelegar.
“Eh, Erlin.
Kamu ga boleh kayak gitu.” Kak Damar menyela. Menengahi diriku diantara Dinda.
Dinda
terkejut dia mencoba menata bajunya. Dan berdiri.
“Oh, jadi
ini pacar kamu, kak? Cewek kayak gini mau kamu jadiin pacar?” dengan nada
tinggi aku memarahi kak Damar.
Kak Damar
menarikku kedalam kamar, aku tahu dia emosi.
“Kak ga ada
cewek lain apa? Kenapa harus dia yang jadi pacarmu kak? Aku ga mau.” Marahku.
“ Kamu
kenapa kok bisa kayak gini sih? Dinda itu baik.”
“Baik dari
mana? Dia itu cewek murahan kak. Aku ga mau kakak sama cewek seperti itu.”
“ CUKUP
ERLIN, kamu gak tau apa apa tentang Dinda. Awalnya aku mau ngenalin Dinda ke
kamu. Tapi kamu ga sopan sama dia, datang-datang bukannya bawa ketenangan tapi
kamu malah marah-marah ga jelas.” Terang kak Damar.
“ Ya udah,
urus aja tu pacar kamu yang sok cantik. Aku sebagai adikmu sudah kamu lupain,
akhir-akhir ini kamu sering pulang larut malam, jadi jarang kamu perhatiin.
Cuman gara-gara cewek murahan itu ! . DAN AKU GA PERLU KENALAN SAMA CEWEK BEJAT
KAYAK DIA. GA BUTUHHHHHHHHHH !”
Aku mendorong kak Damar keluar kamar. Aku menutup pintu dengan amarah yang
berapi-api di dadaku. Aku tak percaya kak Damar mau berpacaran dengan wanita
sebejat Dinda. Andai kamu tau semuannya, kak.aku ga bakal rela kamu dengan
dia.
…………………………………………………………………………………………………………….
Keesokkan harinya, aku libur kerja. Dan diapartemen cumin ada aku, dan tv
yang menemaniku. Rasannya tak ada yang enak buat aku lakukan setelah kejadian
kemarin. Bel tamu berbunyi, aku segera membuka pintu. Ternyata Dinda… aku sudah
malas sekali melihat wajahnya.
“Damarnya
ada?”
“Gak ada.”
Jawabku cuek.
“Ya udah
deh, aku nitip surat ini ke Damar ya.”
“Ngapain
juga aku mau. Asalkan kamu tau ya, Kak Damar ga pantes buat cewek sebejat
kamu.”
“Helloooo,
sapa juga yang mau ngambil Damar dari kamu. Kakakmu aja yang udah jatuh cinta
sama aku.”
“Belum puas
ya kamu udah buat hancur hubunganku sama David. Sekarang kamu mau ngehancurin
hubunganku sama kakakku sendiri? Kak Damar gak akan terima kalo kamu udah
hamil.”
Dinda
tersentak, dia terkejut ternyata aku mengetahui dia hamil.
“Oh, jadi
Vianka Merlin ini sekarang udah jadi dokter yaaaa, tau aku udah hamil segala.
Emang kamu punya bukti?”
Dengan
senyum pahit aku mencoba menegaskan semuanya.
“KAMU GAK
BAKAL BISA MEMILIKI KAKAKKU.”
Pintu segera aku tutup. Beberapa saat kemudian, aku baca surat darinya, ternyata surat keterangan doktor kalau Dinda harus
melakukan operasi. Operasi apa an nih, jangan jangan dia. . . . . Tanpa
pikir panjang aku segera menuju rumah sakit yang tertera pada surat itu. Dan
ternyata Rumah sakit dimana aku bekerja.
Disana aku mencari dimana Dinda berada. Aku membuka pintu ruang operasi
satu persatu, Disebuah ruangan, yaitu ruang ganti. Aku dapati Dinda, dia
mengelus-elus perutnya yang belum terlihat buncit. Aku mendekat dan menarik bahunya.
“Oh, jadi mau operasi aborsi gitu yaaa?” sapaku.
“Loh, ngapain kamu disini?”
“Udah, ga usah banyak omong. Bilang aja iya, kalo kamu mau aborsi. Dasar
cewek murahan.”
“Eh, asal kamu tau yaa. Ini anak David. Pacarmu aja yang murahan.”
“Ga usah bahas David lagi, dan dia bukan pacarku. Terserah itu mau anak
siapa yang penting aku ga mau lihat kamu bersama kakakku. Asalkan kamu tau ya,
semua kebahagiaanku udah kamu hancurkan!.
“Hahaha, so aku ga boleh bahagia sama Damar?” Tanya Dinda tanpa rasa
bersalah.
“Ga boleh dan Gak akan BISA !” jawabku.
Aku mendekati Dinda dan mengeluarkan sebilah Pisau yang tajam. Dinda terkejut
mendapati tanganku menggenggam pisau. Dia menjerit, namun kututup mulutnya
dengan tanganku. Aku memojokkan Dinda. Amarahku semakin menjadi, bayangan
kebahagiaanku bersama David dan Kak Damar yang telah dia rebut semakin
membuatku ingin segera melakukan. . . . .
“DON’T DISTRUB MY BROTHER !” tegasku.
“AAARRRRRHHHHH…..”teriak Dinda sembari kubungkam lebih erat mulutnya.
Dengan sekuat tenaga aku menusuk Dinda dengan pisau yang ku genggam.
Berulang kali. Hingga darah memunyembur kemukaku. Aku tak peduli, aku
melampiaskan segala dendam dan amarahku. Dan yang aku bayangkan adalah, hidupku
bisa lebih bahagia tanpa dia.
Aku merasakan keheningan, kurasakan nafas Dinda yang terhenti. Aku
melepaskan bungkaman tanganku darinya. Aku tersenyum puas. Merasakan kemenangan
atas pelampiasan dendam dan amarahku.
“Bye… mimpi indah.” Aku mencabut pisau yang tertancap di perut Dinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar