Selasa, 20 November 2012
Jumat, 30 Maret 2012
cerpen #2
Dipenghujung Mata Bersenja
Pagi
itu, kala sang surya merekahkan cahayanya membangunkanku dari mimpi semalam.
Kulihat jam di meja yang menunjukkan pukul 5 pagi. Kuambil kacamata berframe
bening pemberian Ammar, sahabat karibku. Aku segera wudhu dan mandi.
Brrr…..aku
keluar kamar mandi dengan tubuh gemetar, meskipun tak begitu pagi airnya masih
saja dingin. Aku duduk sejenak di pinggir kasur kuningku, mengingat-ingat
tentang jadwalku hari ini. Aku menengok ke tembok yang bertempelkan selembar
kertas, “ belajar sama Ammar “ . dan aku baru teringat kalau pagi ini aku harus
belajar dengannya. Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku, karena aku
ikut ujian susulan pelajaran kimia. Segeraku berlari kearah meja belajar dan
memasukkan setumpuk buku kimia yang tebal-tebal itu kedalam tasku.
Tanpa
pikir panjang aku langsung berlari menuruni tangga rumah, dan mengambil minuman
yang telah disiapkan oleh ibukku.
“loh,
kok buru-buru gitu, Din ?” Tanya ibukku.
“E….
aku mau belajar sama Ammar dulu buk”
“lha
tadi malam kamu ga belajar ?”
Dengan
perasaan tergesa-gesa. Aku segera berhenti, mendekati ibukku. Dan menaruh tasku
di meja makan. Dengan nafas panjang aku mulai menjawab.
“
Ibukku sayang, Addin berangkat dulu ya? Doain bisa ngerjain ujiannya, terus
dapet nilai bagus.”
Dengan
suara lemah lembut dan memasang muka tersenyum, aku mencoba menenangkan ibukku.
Aku cium kedua pipinya sembari memeluk ibu. Terasa lama sekali aku tak
merasakan hal seperti ini, dan aku baru menyadari kalau pagi ini adalah momen
yang amat jarang aku dapatkan. Di pagi ini ibukku masih dirumah. Bahkan menyiapkan minum untukku.
“terima
kasih, ibu. Mmmuah”
Dan
ibukku hanya tersenyum manis, yaa hanya ibukku yang punya senyum paling manis,
hehehhe. Di depan rumah ternyata Ammar sudah menungguku.
“
selamat pagi, nona Addin. Sudah siap belajar dengan saya ? “ Ammar menyambutku
dengan tersenyum.
“
loh, katannya belajar dirumahmu, Am. Kok kamu malah nunggu disini? Gimana sih?.
“ga
apalah, mending kita belajar dirumah pohon aja. Kan masih pagi gini, udaranya
pasti masih sejuk. Terus enak deh buat belajar. Udah siap belum buku-bukunya?
“yaelah,
gitu yaaa…. Ahahhaha. Oke deh. Udah siap semua bos.”
“yaudah,
cepetan ambil sepedamu.”
Akupun
lari ke garasi dan mengambil sepeda kuning kesayanganku. Aku dan Ammar
bersepeda menuju rumah pohon. Ya, tempat favorit kita. Sudah sejak SD kami
berteman hingga SMA kelas 3 ini. Sampai-sampai orang tua kami juga saling
berteman dekat. Dan rumah pohon yang akan kami tuju adalah tempat yang
dibuatkan ayahku buat aku dan Ammar bisa bermain tanpa harus berkeliaran kesana
kemari. Maklumlah, namanya juga dulu masih anak-anak. Pasti bawaanya
kemana-mana. Nah, karena kami suka rumah pohon, makannya tempat itu adalah
tempat yang mengesankan bagi aku dan Ammar. Kami sering menghabiskan waktu
bermain disana. Tiap berangkat sekolah, Ammar selalu menungguku di depan rumah.
Dan berangkat sekolah bersama. Dia adalah teman terdekatku. Teman terbaikku
juga. Dia adalah seorang laki laki yang sabar menghadapi segala tingkah lakuku,
yang kalau dipikir-pikir sih bikin jengkel, heheh. Dia juga sering
menyemangatiku ketika aku sedang tak ada hasrat apapun. Dan satu hal yang tidak
aku dapat dari temanku yang lainnya, dia adalah laki-laki yang dapat mengerti
wanita. Menurtku sih begitu, jadinya aku nyaman berteman dengan Ammar.
Sampai
di rumah pohon, aku berhenti sejenak dan melihat sekitar. Rasanya lama tak
ketempat ini, ada perasaan rindu menyapaku.
Aku turun dari sepeda dan berdiri tepat dibawah pohon nan rindang.
“wah,
tumbenan banget tempatnya bersih gini. Daun-daunnya ga ada yang gugur.”
Kagumku.
“ya
dong, sapa dulu yang bersihin. Buat kamu nih, biar sukses ujiannya. Kurang apa
coba aku.”
Dengan
semangatnya aku langsung naik ke rumah pohon dan menikmati indahnya pemandangan
gunung-gunung berjejeran. Ammar yang hanya bisa tersenyum, membawakan tasku
yang penuh dengan buku-buku.
“neng,
lain kali bawa koper sekalian yaaa… biar mantep.” Keluh Ammar dengan mukanya
yang mengerut.
Dan
kami pun tertawa lepas.
Pagi
nan cerah itu, sang mentari mengepakkan sayap cahayanya. Menyinari buku-buku
dan daun daun. Ammar sangat sabar mengajariku kimia. Segala pertanyaan dariku
dijawabnya dengan sangat tenang. Yah, beginilah punya sahabat yang pintar. Bisa
ngajarin kalo ga bisa. Saat aku menulis cara-cara yang ia tulis. Sekejap Ammar
terdiam. Entah mengapa, aku merasa ia menatapku. Tapi tak ku hiraukan. Tapi,
beberapa detik kemudian aku merasa ada sesuatu.
“
kenapa ? “ tanyaku.
Dia
hanya tersenyum, dan menghela nafas. Melihat pemandangan sekitar. Sambil menggerakkan
kedua tangannya. Lalu ia berdiri.
“
sudah lama ya kita bermain disini, mulai dari kecil. Saat kamu masih doyan
nangis, aku sering jahilin kamu. Inget ga dulu kamu jatuh dari tangga ini,
terus dengan sekuat tenagaku aku gendong kamu. Hahhahah, mana kamu ngompol
segala.”
Sekejap
aku berhenti menulis, tersenyum malu sambil menundukkan kepala. Bayangan masa
kecil itu mengelilingi kepalaku.
“udah
ah, apaan sih. Itukan masa kecil. Jadi, makasih ya pahlawan kesiangan udah
nolong aku, wek !” jawabku judes.
“yee,
malu yaa… wkkwwkk. Dasar cengeng. Jatuh gitu aja nangis. Ga kenapa-kenapa
juga.”
“sooo…
penting?”
“ya
deh, nona Addin ngambek.”
“mending
cek deh pekerjaanku, nih…” pintaku, sembari meletakkan kertas-kertas yang
kutulis.
Dengan
penuh semangat Ammar melihat pekerjaanku. Dia pun tersenyum sembari melihatku.
“ Aku yakin kalo kimianya bakal
dapet sempurna.” Pujinnya.
“ Amin, terima kasih Ammar. Kamu
buaik BGT deh.”
Aku
berdiri sambil tersenyum, semangat serasa bergelora di hatiku. Dan saat itupun aku
yakin bisa menjalani ujian kimia yang harus aku hadapi, tanpa merasakan gelisah
apapun.
“
siap nona ? kita meluncur ke sekolah.” Ajak Ammar.
Dengan
sigap aku bereskan buku-buku dan turun dari rumah pohon. Entah mengapa Ammar
terlihat ceria sekali pagi itu. Disepanjang perjalanan ke sekolah dia bercerita
tentang ujian yang ia hadapi. Akupun menikmati segala celotehnya sembari
melihat pemandangan yang lama tak aku lihat.
“
pasti kangen sama suasana sejuk seperti ini. Ahhahaha, daripada dikamar rawat
yang mengerikan. Sekarang udah sehat kan? Harus ceria dong, tau ga… dulu waktu
kamu sakit aku berangkatnya sendirian lho. Ga ada temannya.” Celoteh Ammar.
“kasian
sekali, terus mainnya sama sapa?”
Ammar hanya menggelengkan kepala.
Maklumlah, Ammar adalah tipe cowok yang kurang
pintar bersosialisasi, sampai-sampai aku tak pernah melihat dia berbincang
akrab dengan temannya. Sudah hampir 3 bulan kami tak bermain bersama, karena
aku harus istirahat sejenak di rumah sakit. Sebenarnya aku sangat rindu dengan
suasana bersepeda dengan Ammar. Dan sekarang aku bersama sahabat terbaikku,
Ammar. Seakan merekatkan kembali semangat sekolahku yang luntur. Aku hampir tak
mau melanjutkan SMA setelah keluar dari Rumah Sakit. Tapi Ammar membuatku
seakan keluar dari awan hitam yang mengelilingi pandanganku.
Sepeda
terus kami kayuh. Sampai akhirnya di sekolah, 5 menit sebelum ujian dimulai.
Aku tersenyum kepada Ammar dan dia pun memberiku tanda untuk semangat. Aku
berlari ke sekolah. Yah, rasanya lama sekali tak merasakan berlarian menuju
kelas, karena dulu hampir tiap hari aku dan Ammar telat masuk sekolah. Dan kami
sering melakukan ini bersama, berlari-lari ke kelas. Yah, masa SMA bersama
Ammar yang paling mengesankan. Sampai sering diingetin sama guru-guru.
Di depan kelas, suasana dingin menyigap
tubuhku, aku mencoba menata nafasku yang tak teratur. Aku masuk kelas, dan di kelas itu hanya ada 2
orang siswa dan 1 pengawas.
Jam
pun berputar, setelah menyelesaikan ujian kimiaku. Aku pulang dengan suasana
hati yang lega. Aku mengambil sepedaku
dan pulang kerumah. Dirumah, seperti biasa. Hanya ada bibi yang sedang
membersihkan dapur. Orangtuaku sangat sibuk, sehingga aku amat sangat jarang
melihat mereka berkumpul. Aku masuk kamar dan mendapati sepucuk surat di kasur.
Aku lihat suratnya,
“
pasti dari Ammar nih, pake warna biru-biru segala. Dasar blue boy “
Nona Addin, udah
pulang sekolah? Sehat kan ? main yuk, aku tunggu di tempat biasa. PENTING
CEPETTAAAANNNNN !!!!!!
Hmm,
tanpa mikir aneh aneh aku pergi ke rumah pohon. Disana Ammar sedang bermain
gitar kesayangnya, aku mendekatinya. Kulihat raut wajahnya yang berbeda dari
tadi pagi, sedih.
“kenapa,
Am ?” sapaku.
Dia
hanya bernyanyi, menyanyikan lagu mellow . Padahal aku paling sebel denger lagu
itu. Yah, demi teman yang lagi sedih, ditahan deh sebelnya. Dengan rasa
penasaran aku memandang Ammar, mencoba menyadarkan dia kalau aku ada di
dekatnya. Tapi, ga respon.
“ cintaku, bukanlah
cinta biasa.
Jika kamu yang
memiliki,
Dan kamu yang temaniku
seumur hid……” Ammar bernyanyi dengan raut sedih.
“
AMMAR, kamu kenapa sih. Tadi nyuruh aku kesini, aku udah kesini eh kamunya
malah gitu, cerita dong. Aku pengen tau, ada pa sih.”
Aku
segera memotong nyanyian merdunya, aku merasa sangat sebal. Disaat serius
seperti ini, masih saja dia bernyanyi, apalagi dengan lagu yang jelas-jelas
membuatku pusing. Aku tak suka lagu mellow !. Huh.
“
tadi pagi, mamaku telfon. Besok bulan Juni aku ke London. Nerusin kuliah disana.”
Sejenak nafasku terhenti, mencoba
mengartikan segala ucapan Ammar. Dengan tanpa ekspresi, hatiku merasa seperti
tertelan kegelapan.
“
loh, bagus dong. Kan peningkatan. Diluar negerikan lebih baik.” Sahutku.
“
so, bakal lebih baik kalo kita ga bisa ketemu lagi ?” dengan tatapan layu, Ammar
menengok ke wajahku. Aku merasakan hatinya yang sedang gundah. Sebagai teman
yang baik, aku mencoba untuk menghiburnya, memberikan semangat untukknya. Meskipun
hatiku juga tak bisa menerima kenyataan.
“
kemanapun kamu pergi, kita tetep bisa berteman kok. Teman sejati kan ga bisa
putus walaupun terbentang jarak menghadang.” Jawabku sambil memasang wajah
manis. Mencoba menghibur Ammar.
Aku
memegang pundaknya,
“udah
deh, teknologi udah canggih. Kita masih bisa connect kok. Jangan sedih gitu
dong. Harus banyak bersyukur kan orangtuamu masih sanggup ngasih biaya buat
kamu. Biar cita-citamu kewujud, Am. Ya? Jangan sedih gitu dong. Masih inget
janji kita ga ? kita jadi dokter yang hebat. Yang bisa ngebantuin orang-orang yang lemah diluar
sana.”
Ammar
pun tersenyum. Dan aku bahagia bisa membuatnya tersenyum. Tapi sebelnya, dia
malah ngelajutin lagunya Afgan yang terpotong tadi. Yahhhhh……
…………………………………………….
Beberapa
bulan kemudian, hasil pengumumuman kelulusan. Aku dan Ammar mendapat nilai
Kimia yang sama, ya seperti yang dikatakan Ammar bulan lalu. PERFECT. Aku
sangat senang sekali, secara Ammar adalah siswa yang bisa dikatakan ahli kimia.
Dia memberiku selamat. Begitu pula aku.
“gimana
kalo sepedahan keliling kebun, pasti enak banget. Kan kita udah lama ga maen-maen,
Din. Aku pengen main kesana, sebelum pergi ke London.” Ammar memegang tanganku
sembari menarikku menuju sepeda. Perkataan yang baru saja terucap dari mulutnya
membuatku sedih. Aku harus menyadari kalau tak lama lagi dia akan pergi.
Meninggalkan aku. Entah, aku merasa moodku berubah sangat buruk.
Selama
perjalanan bersepeda, aku hanya terdiam. Memikirkan betapa sepinya hariku tanpa
Ammar. Membayangkan betapa basinya hari hariku tanpa bercanda dengannya. Dulu,
aku selalu membayangkan kuliah bersama Ammar, saling menyemangati. Dan wisuda
bersama. Dia dulu juga sempat bercerita kepadaku, kalau kita harus bersama-sama
terus. Yah, aku dan Ammar seakan terikat persahabatan yang sangat kuat.
Bayangan ilusi terus terbenak
difikiranku. Sama sekali aku tak bisa bersikap semangat di depannya. Sedangkan,
aku melihat Ammar. Dia sepertinya sangat bersemangat untuk keluar negeri.
Melanjutkan kuliahnya. Setelah lama kami menghabiskan hari itu, senja mulai
menyapa. Ammar mengajakku untuk ke rumah pohon. Sampainya disana……
“
wah, indah sekali ya hari ini. Kita bisa lulus bareng, sepedahan bareng,
menghabiskan hari ini bareng-bareng juga. Aku seneng banget, Din.”
Aku
hanya berjalan dan naik ke rumah pohon. Aku masih membayangkan masa-masa SD ku
bersama Ammar bermain disini, sampai sekarang. Penuh cerita.
“kamu
berangkat kapan, Am?” tanyaku pelan.
Raut
wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Dia mendekatiku. Aku merasa agak bersalah,
karena menghancurkan perasaan senangnya. Dia berfikir, menundukkan kepala.
Entah apa yang ada di otaknya.
“aku
hanya bisa berdoa, semoga kita bisa bertemu kembali.” Tegasku.
Dia
menatapku dengan penuh kebimbangan.
“
aku, kamu. Kita bersahabat dari SD, Am. Banyak sekali hari-hari yang kita
lewati. Sedih dan senang kita selalu hadapi bersama. Entah apa yang kini aku
rasakan, seakan tak bisa menerima kalau kita harus berpisah. Aku sedih, belum
bisa menerima. Tapi sebagai sahabat yang baik, aku turut senang menerima kalau
kamu harus pergi ke London. Melanjutkan cita-citamu. Sebisa mungkin aku akan
selalu ada untukmu. Meskipun nanti kita harus terpisah jarak. Am, kita tetap
sahabatkan? “
Aku
mencoba untuk berbicara serius dengannya. Selang beberapa detik, dia mulai
menatapku kembali.
“ Din, kita tetep sahabatan, meskipun nanti aku di London. Dan kamu disini. Sebagai sahabat yang baik pula, aku mencoba memberikan yang terbaik untukkmu. Aku akan selalu mengingat kebersamaan kita. Aku akan membuktikan, kalau nanti aku bisa meraih cita-citaku. Dan aku akan mengabarimu kalau aku sukses kelak. Kamu tau gak? AKU PINGIN NANGIS ……..”
“ Din, kita tetep sahabatan, meskipun nanti aku di London. Dan kamu disini. Sebagai sahabat yang baik pula, aku mencoba memberikan yang terbaik untukkmu. Aku akan selalu mengingat kebersamaan kita. Aku akan membuktikan, kalau nanti aku bisa meraih cita-citaku. Dan aku akan mengabarimu kalau aku sukses kelak. Kamu tau gak? AKU PINGIN NANGIS ……..”
Suasana
pun berubah menjadi lebih dingin, baru pertama kali ini aku melihat Ammar
menangis.
“ cengeng juga kamu, Am.” Gurauku
“
sedih tauk…. Hiks… hiks.”
“udah-udah.”
Tenangku,
“
Din, aku janji bakal balik ke sini secepat mungkin. Setelah lulus. Kamu juga
tungguin aku ya.”
Harapnya
pasrah. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Mencoba untuk menerima ini.
Meskipun hatiku masih merasa bimbang. Tapi… Ammar kaget mendapati aku yang
mimisan, aku panik. Kupalingkan wajahku dari hadapanya. Mencoba meraih tisu
yang ada di kantong rok ku. Pikiranku semakin menjadi, serasa semuanya
bercampur menjadi satu. Sedangkan Ammar mencoba untuk menolongku,.
“
Addin, kamu kenapa ? kok tumben banget mimisan. Ini ini, pake saputanganku
aja.”
Ammar
mencoba menutup lubang hidungku dengan tisunya, tanganku yang mencoba meraih
tisu tak cukup cepat untuk menutup hidungku sendiri. Ammar menyuruhku untuk
duduk. Dan dia mulai menenangkan diriku. Saat itu, aku semakin merasa sedih. Kulihat
wajah Ammar, dia sangat perhatian denganku. Aku semakin merasakan keberadaanya
dihidupku selama ini. Terima kasih, Ammar. Aku menyayangimu.
.
. . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. . .. . .. . . . . . . .. . . . .. . . . . .. . . . . . .. . .. . . . . .. .
. . . . . . .. .
Pagi
itu, aku harus berangkat secepat mungkin. Menuju rumah Ammar. Karena hari ini,
dia berangkat ke London. Dengan perasaan mendebarkan, aku mencoba untuk
menenangkan hatiku. Aku melihat jam di handphone ku yang menunjukkan pukul 7.
Ku buka 11 missed call dan 5 sms dari Ammar . tanpa ku buka aku segera menuju
ke rumahnya.
Di depan rumahnya, aku tak
melihat mobil Alphard keluarganya, gerbangnya pun tertutup. Terlihat sepi. Aku
mencoba menekan tombol tamu. Dan beberapa saat, pembantunya keluar.
” Aduh, non. Kok ya baru dateng.
Tadi den Ammar sama pak Agus baru saja keluar. Ke erpot,non.”
Dengan
logat medok, bi Inah memberitahuku. Hmmm, aku semakin tergesa-gesa.
“
Ha? Udah berangkat dong bi? Ya udah, aku nyusul aja ke sana. Makasih ya bi.”
Di
Airport, aku berlari menuju pintu masuk. Dengan nafas terseda-seda, aku meraba
hidungku yang mimisan. Aku mencoba mencari Ammar dan sopirnya, pak Agus.
“Mana
ya… aduh. Ammar kok cepet banget sih berangkatnya. Lupa apa sama aku.” Aku
menggerutu tak jelas. Dengan hidungku yang terus mimisan, aku mencoba berlari
kesana kemari mencari Ammar. Sejenak aku melihat kearah penerbangan. Jaket biru
dengan tas hitam pemberianku Ammar naik ke pesawat yang akan lepas landas. Aku
berlari mendekat, tapi tak bisa. Terhalang oleh satpam yang menjaga. Aku
mencoba membujuk untuk memperbolehkan aku masuk. Tapi apa daya, aku tak bisa.
Kepalaku serasa pusing, aku mencoba duduk dan melihat kearah pesawat itu. Aku
melihat Ammar yang terlihat menunggu di depan pintu pesawat, namun tak lama ia
masuk. Aku merasa menyesal sekali, tak bisa menemani dia disaat terakhir
kepergiannya.
Ammar,
baik-baik kau disana. Maafkan aku yang membuatmu kecewa. Tak bisa menemanimu
disaat terakhir ini.
Aku
termenung, mencoba untuk menenangkan diri sembari menghilangkan darah di
hidungku. Tak lama, pak Agus menyapaku.
“neng
Addin ya? Aduh neng, kok ya disini. Tadi di tungguin den Ammar ga
dateng-dateng. Keburu take off, jadi berangkat duluan.”
“
iya, pak. Gak apa apa kok.” Sahutku sedih.
“ini
ada pesen dari den Ammar. Tadi di titipin saya waktu berangkat.”
Pak
agus memberiku sepucuk surat berwarna biru, dasar Ammar, biru mulu.
“oh,
makasih ya pak.”
Aku
menerima surat dari Ammar.
Sampainya
di rumah,aku baru teringat tentang sms dari Ammar. Aku membacanya satu per
satu.
·
din, kamu udah berangkat ? aku
tungguin
·
nona addin, mau sampe kapan aku nunggu
? keburu take off nih.
·
ADDIN…. Aku tungguin di Airport.
·
din, L
·
aku berangkat dulu ya, din. Maaf kalo
bikin kamu kecewa. Ini pesawatnya udah mau take off. Bye, take care u’r self.
Don’t forget me, okay. Miss you.
Aku meneteskan air mata. Rasa
penyesalanku masih terasa menyesak di dada. Andai aku membalas sms Ammar. Pasti
dia takkan gelisah menungguku. Betapa bodohnya diriku yang tidak bisa memberi
sahabatku waktu terakhir kepergiannya. Betapa sedihnya Ammar.
L
Ammar, aku kangen kamu.
Kemudian aku mencoba membuka surat
biru dari Ammar.
To : Addin J
Never mind
I'll find someone like you
Din, kamu sahabat
terbaikku. Terima kasih selama ini mau menemaniku. Bermain bersamaku.
Kepergianku ini takkan menjadi akhir dari persahabatan kita. aku sudah tau
semuanya, Din. Tentang kenapa kamu 3 bulan kemarin ga masuk sekolah, tentang
kamu mimisan waktu itu. Dengan kenyataan yang aku terima, aku mencoba untuk
memahami ini semua. Kemarin waktu aku menaruh surat di kamarmu, aku menemukan
surat-surat keterangan dari dokter tentang apa yang terjadi padamu. Aku tak
percaya, kenapa kamu gak pernah cerita sama aku ? Din, selama ini aku cuman ingin melindungimu,
menemanimu. Sebisa mungkin aku ingin menjagamu. Aku merasa bersalah tak pernah
mengerti keadaanmu yang sedang lemah. Aku sering mengajakmu maen, sepedahan.
Maaf ya, Din. Aku juga sangat menyesal tak bisa menemanimu dikala kamu sedang
di rumah sakit. Sekarang, doain aku ya bisa lulus tepat waktu. Bisa jadi dokter
yang hebat. Aku bakal cepet pulang dan mengobati penyakit leukemia mu, Din. Do
the best for you.
“ ku tak tahu apa
bisa, kubertahan bersamamu. Tapiku tahu satu hal, kumenyayangi dirimu. Memang
tak mudah memilikimu. Semua yang kita alami, dan telah kita jalani, semua tlah
terukir dan takkan terganti di hatiku.” Lagu buat kamu, Din. Tunggu aku, aku
akan memberikan segala hasilku di London. Cuman buat kamu, karena kamu bintang
untuk jalan setapakku, Din.
Ammar
Jantungku berdebar, aku tak menyangka
Ammar mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Aku mencoba untuk tak membuatnya
sedih dengan keadaanku. Aku menarik nafas, melihat fotoku dan Ammar di meja
belajar. Ammar, selama ini ternyata aku menyayangimu. Lebih dari sekedar
sahabat. Aku tak pernah berfikir kalau Ammar melakukan ini semua karena
ingin mengobati keadaanku. Air mataku mengalir semakin deras. Berapa lama aku
harus menunggumu, Am.
Waktu terus berjalan, setiap hari aku
selalu menghabiskan senja di rumah pohon. Mengingat waktu terakhir kita bertemu
sebelum kepergian Ammar. Aku menuliskan kalimat-kalimat yang mengungkapkan
perasaanku di kayu-kayu rumah pohon.
Ammar,
love you.
Ammar, are
you okay in there?
I missed you.
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Tepat 4 tahun setelah kepergian
Ammar,
Aku
membuka mataku, aku dapati diriku sedang berbaring lemas di ruang ICU. Ibukku
berada di sampingku dan ayahku yang mencium keningku. Aku berusaha sabar
menghadapi ini semua.
“ammar
belum ada kabar buk, yah ?” tanyaku
Ibu
dan ayahku hanya menggeleng. Aku mencoba memahami, sudah lama aku tak mendengar
suara Ammar. Apakah dia tahu keadaanku sekarang. Surat yang telah aku tulis
beberapa hari yang lalu, kuberikan pada ibu. Aku menitipkan surat itu untuk
Ammar. Dan aku pasrah kepada Allah. Aku memulai menenangkan diri untuk
menghadapi operasiku. Aku sempat berbicara dengan kedua orangtuaku.
“ibu,
ayah. Aku hanya bisa berterima kasih atas segala kasih sayangmu padaku. Aku
belum bisa membahagiakan kalian.” Hanya itu kalimat yang aku katakan. Aku tak
tahu harus berkata apa. Aku merasakan hal yang berbeda pada orangtuaku. Baru
kali ini aku merasa dekat, dan melihat mereka berdua menjagaku di detik-detik
menegangkan di hidupku. Aku melihat ibuku yang meneteskan air mata, dan ayahku
yang terdiam membisu.
“
Addin sayang sama ibu, sama ayah.”
Aku
menutup mata dan merasakan obat tidur yang segera bereaksi di tubuhku.
Di
dalam tidurku, aku bertemu dengan Ammar, yah… dengan tas pemberianku dan jaket
birunya. Iya mendatangiku. Membawakanku kacamata bening darinya. Aku tersenyum
dan mengapai tangannya. Namun, sekejap hilang. Aku mendengar suara yang lama
tak kudengar, suara Ammar yang memanggilku.
Namun terasa aku kehilangan arah. Dan serasa melayang.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Ammar,
duduk di rumah pohon sambil memainkan gitarnya, dengan kacamataku yang ada di
pangkuannya. Dan jas sarjana yang menutupi pundaknya. Menyanyi mengiringi sang
surya terbenam.
Dirimu dihatiku tak
lekang oleh waktu
Meski kau bukan
milikku
Intan permata yang
tlah pudar
Tetap bersinar mengisi
kesepian jiwaku….
Kucoba mem…..
Dia
berhenti bernyanyi, Ammar baru menyadari berbagai tulisan yang aku tulis di
dinding-dinding kayu. Dia tersenyum dan meraba-raba tulisanku. Seakan ingin
mengungkapkan hal yang sama.
“
Addin, I miss you very much”
Dan
Ammar sekali lagi membaca surat dariku
To : Ammar J
No one can nice like
you do.
You take my arms to
find my world
Ammar, semua yang
terjadi adalah yang terbaik untuk kita. meskipun kita tak bisa bertemu kembali.
Aku harap jangan pernah
melupakan semua cerita kita. aku harap kamu bahagia meski tanpa diriku.
Love
Addin
Ammar
menggenggam kacamata beningku, dan dia menarik nafas. Mencoba tegar….
Di
senja yang akan berakhir ini, Ammar harus membuka lembaran cerita tanpa diriku,
penyesalan masih terbesit. Dia bernyanyi,
mengakhiri senja hari itu.
Sempat tak ada lagi
kesempatan ku untuk bisa bersamamu
Kini, kutahu bagaimana
caraku untuk terus bersamamu
Bawalah pergi cintaku,
ajak kemana engkau mau
Jadikan temanmu
,temanmu paling kau cinta
Disinikupun begitu
terus cintaimu dihidupku
Di dalam hatiku,
sampai waktu yang pertemukan
Kita nanti.
Dan
lagu itu yang akan aku kenang, Ammar.
Terima
kasih.
Alfin's cerpen
Don’t Disturb My Brother !
Alfinda Meilan
Senja telah
tiba, suasana depan rumah sakit tempatku bekerja masih saja ramai. Disini aku
merasa sangat sebal. Dua jam aku menunggu, namun sampai sekarang dia belum saja
menampakkan batang hidungnya.
“Lupa kali ya itu orang jemput aku
disini. Perasaan tiap hari jemputnya juga disini.” Keluhku.
Aku
berjalan mondar mandir sekedar menghilangkan amarahku. Beberapa saat kemudian
aku dikagetkan dengan klakson mobil tepat menyala di depanku. Aku melihat mobil
itu, dan segera menghampiri. Kaca mobil itupun terbuka.
“Oh, masih inget ya kalo punya
adik ?” omelku. Kakakku hanya tersenyum dan membukakan pintu mobil. Dengan
kesal aku masuk dan menutup pintu mobil tanpa perasaan. Aku pasang muka masam.
“Aduh,
Erlin. Maaf ya, tadi ada urusan sebentar di kantor. Yaa, semacam rapat mendadak
gitu.” Kakakku mencoba menjelaskan.
“Iya, gak
papa. Lagian kakak juga bukan sopir pribadiku.” Cetusku dengan dahi tertekuk.
Kakakku hanya bisa tersenyum dan membelai rambutku. Percakapan itupun
berakhir. Aku melihat kakakku, teringat betapa sabarnya dia menghadapi segala
omonganku yang sering kasar kepadanya. Yah, hanya kakakku yang bisa memadamkan
api yang ada di hatikuku. Damar Ferdin Alanka, namanya. Dia adalah satu satunya
orang yang aku sayangi di bumi ini, setelah 4 tahun sepeninggalan kedua
orangtuaku. Dan namaku, Vianka Merlin. Aku adalah dokter muda di rumah sakit
ternama di Jakarta. Aku dan Kak Damar tinggal berdua disalah satu apartemen
daerah Kelapa Gading. Kak Damar yang selalu
membimbingku, dia adalah orang yang baik, sabar dan ramah. Meskipun aku sudah
dewasa , tapi aku masih membutuhkan kasih sayang. Dan hanya kakakku yang mampu
memberi itu semua. Kakakku meneruskan perusahaan alm.ayah. Banyak wanita yang
tergila-gila karena ketampanannya, apalagi dia bisa dibilang pengusaha muda.
Hmmmm, yah itulah kakakku.
Sampainya diapartemen tempat kami tinggal, aku segera ke kamarku. Melepas
seragam putih yang membuatku gerah dan berganti baju santai, aku mengerutkan
dahiku ketika ku lihat foto di meja.
“Apa apa an
nih, kok masih ada disini sih.” Gumamku.
Sebuah foto yang membuat hatiku sakit. Ya, foto mantan kekasihku. Aku
pegang foto itu dan menyobeknya. Mantan kekasih yang membuat hidupku kelam. Tak
lama kemudian Kak dammar mengetuk pintu dan masuk ke kamarku.
“Erlin,
makan yuk.” Ajak kak Damar.
Aku hanya
termenung dengan keadaan tanganku yang penuh dengan sobekan kertas. Kak Damar
mendekatiku, ia duduk disampingku sembari memelukku.
“Tak apa
adikku sayang, lupakanlah semua yang telah terjadi. Ada aku yang ada
disampingmu.” Hibur kak Damar.
“Aku hanya
tak bisa melupakan betapa hancurnya hatiku karena dia, kak. Dia dulu adalah
orang yang aku cinta. Tapi dengan tanpa bersalah dia menduakanku. Dia
memutuskan semuanya, dan pergi dengan perempuan murahan itu.” Aku menangis di
pelukan kak Damar.
“Iya kakak
tau, cinta emang kayak gitu. Ga selamanya bikin seneng. Mending sekarang kita
makan dulu yuk. Biar kamu juga ga sakit. Udah, ga usah mikirin David lagi.
Laki-laki seperti itu tak pantas kamu pikirin.”
Aku
memandang kakakku, hatiku serasa nyaman.
“Terima
kasih, kak. Aku yakin bisa lebih baik tanpa dia. Dan aku masih punya kakak yang
sangat aku sayangi.” Ucapku sembari tersenyum.
………………………………………………….
Beberapa hari kemudian, aku memperhatikan perubahan sikap yang ditunjukkan
oleh kakakku. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah. Lebih sering
pulang malam, dan jarang makan bersama denganku. Dan aku pun merasakan
kesepian.
Dirumah sakit tempatku bekerja, masih seperti biasa. Sebelum dua orang wanita berpostur seperti model dengan pakaian yang “waw” berjalan kearahku. Kayak
pernah tau itu cewek deh. Aku
mencoba mengingat ingat,
“Ya, Ampun.
Dinda”. Desahku.
Aku berjalan cepat menghindar, menundukkan kepala agar dia tak melihatku. Dinda
dan temannya berjalan ke ruang doktor spesialis kandungan. Dinda adalah wanita
yang membuat David pergi meninggalkanku. Sampai saat ini aku masih merasakan
kekesalan yang menyelimuti batinku. Memang dia cantik, tapi aku sangat membenci
dia. Aku mengangkat alis,dasar Cewek murahan, ga berubah dari dulu. Sok
seksi dehhhhh. ngapain juga dia kesini. Kenapa ya. Perasaan hatiku
tak menentu. Satu jam kemudian mereka berdua keluar dan duduk diruang tunggu.
Berbincang dengan asiknya. Aku mencoba mendekati mereka tanpa mereka ketahui. persis
intel nih aku, kayak orang kurang kerjaan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku
mendengar obrolan mereka.
“Eh, gimana
pacar kamu, Din?” Tanya temannya.
“AH, biasa
aja. Kemarin aku habis dibeliin laptop sama dia. Habis laptopku rusak sih.”
Terang Dinda
“Wah, enak
banget. Coba aja pacarku bisa kayak pacarmu, Din. Udah tampan, gagah, baik
hati, udah kerja juga malah.”
“Aduh,
ngimpi deh kamu punya pacar kayak punyakku. Helloooooo”
Iiiuuuccchhh, alay banget deh, pikirku.
“Wah,
sialan kamu. Terus-terus, dia udah tau kamu kayak gini?” Tanya temennya lagi.
“Aduhh, ya
gak lah. Mau jadi apa aku kalo dia tau aku hamil.”
“Ya mungkin
aja dia mau tanggung jawab.”
……………………………
Aku segera pergi dari mereka.
“Ha, gila
banget Dinda hamil. Emang dia udah nikah apa sama David.”
Hari itu lagi lagi, perasaanku menjadi tak menentu. Dan sorenya, aku
terpaksa naik bis kota untuk pulang ke apartemen. Betapa terkejutnya aku
setelah melihat Dinda berada di depan tv bersama kakakku. Dengan sepiring mie
yang berada di tangan kak Damar.
Aku melepas
jaket dinasku, dan berjalan menghampiri mereka.
“APA APA AN
INI? Ngapain kamu disini, dasar cewek bejat.” Amarahku menggelegar.
“Eh, Erlin.
Kamu ga boleh kayak gitu.” Kak Damar menyela. Menengahi diriku diantara Dinda.
Dinda
terkejut dia mencoba menata bajunya. Dan berdiri.
“Oh, jadi
ini pacar kamu, kak? Cewek kayak gini mau kamu jadiin pacar?” dengan nada
tinggi aku memarahi kak Damar.
Kak Damar
menarikku kedalam kamar, aku tahu dia emosi.
“Kak ga ada
cewek lain apa? Kenapa harus dia yang jadi pacarmu kak? Aku ga mau.” Marahku.
“ Kamu
kenapa kok bisa kayak gini sih? Dinda itu baik.”
“Baik dari
mana? Dia itu cewek murahan kak. Aku ga mau kakak sama cewek seperti itu.”
“ CUKUP
ERLIN, kamu gak tau apa apa tentang Dinda. Awalnya aku mau ngenalin Dinda ke
kamu. Tapi kamu ga sopan sama dia, datang-datang bukannya bawa ketenangan tapi
kamu malah marah-marah ga jelas.” Terang kak Damar.
“ Ya udah,
urus aja tu pacar kamu yang sok cantik. Aku sebagai adikmu sudah kamu lupain,
akhir-akhir ini kamu sering pulang larut malam, jadi jarang kamu perhatiin.
Cuman gara-gara cewek murahan itu ! . DAN AKU GA PERLU KENALAN SAMA CEWEK BEJAT
KAYAK DIA. GA BUTUHHHHHHHHHH !”
Aku mendorong kak Damar keluar kamar. Aku menutup pintu dengan amarah yang
berapi-api di dadaku. Aku tak percaya kak Damar mau berpacaran dengan wanita
sebejat Dinda. Andai kamu tau semuannya, kak.aku ga bakal rela kamu dengan
dia.
…………………………………………………………………………………………………………….
Keesokkan harinya, aku libur kerja. Dan diapartemen cumin ada aku, dan tv
yang menemaniku. Rasannya tak ada yang enak buat aku lakukan setelah kejadian
kemarin. Bel tamu berbunyi, aku segera membuka pintu. Ternyata Dinda… aku sudah
malas sekali melihat wajahnya.
“Damarnya
ada?”
“Gak ada.”
Jawabku cuek.
“Ya udah
deh, aku nitip surat ini ke Damar ya.”
“Ngapain
juga aku mau. Asalkan kamu tau ya, Kak Damar ga pantes buat cewek sebejat
kamu.”
“Helloooo,
sapa juga yang mau ngambil Damar dari kamu. Kakakmu aja yang udah jatuh cinta
sama aku.”
“Belum puas
ya kamu udah buat hancur hubunganku sama David. Sekarang kamu mau ngehancurin
hubunganku sama kakakku sendiri? Kak Damar gak akan terima kalo kamu udah
hamil.”
Dinda
tersentak, dia terkejut ternyata aku mengetahui dia hamil.
“Oh, jadi
Vianka Merlin ini sekarang udah jadi dokter yaaaa, tau aku udah hamil segala.
Emang kamu punya bukti?”
Dengan
senyum pahit aku mencoba menegaskan semuanya.
“KAMU GAK
BAKAL BISA MEMILIKI KAKAKKU.”
Pintu segera aku tutup. Beberapa saat kemudian, aku baca surat darinya, ternyata surat keterangan doktor kalau Dinda harus
melakukan operasi. Operasi apa an nih, jangan jangan dia. . . . . Tanpa
pikir panjang aku segera menuju rumah sakit yang tertera pada surat itu. Dan
ternyata Rumah sakit dimana aku bekerja.
Disana aku mencari dimana Dinda berada. Aku membuka pintu ruang operasi
satu persatu, Disebuah ruangan, yaitu ruang ganti. Aku dapati Dinda, dia
mengelus-elus perutnya yang belum terlihat buncit. Aku mendekat dan menarik bahunya.
“Oh, jadi mau operasi aborsi gitu yaaa?” sapaku.
“Loh, ngapain kamu disini?”
“Udah, ga usah banyak omong. Bilang aja iya, kalo kamu mau aborsi. Dasar
cewek murahan.”
“Eh, asal kamu tau yaa. Ini anak David. Pacarmu aja yang murahan.”
“Ga usah bahas David lagi, dan dia bukan pacarku. Terserah itu mau anak
siapa yang penting aku ga mau lihat kamu bersama kakakku. Asalkan kamu tau ya,
semua kebahagiaanku udah kamu hancurkan!.
“Hahaha, so aku ga boleh bahagia sama Damar?” Tanya Dinda tanpa rasa
bersalah.
“Ga boleh dan Gak akan BISA !” jawabku.
Aku mendekati Dinda dan mengeluarkan sebilah Pisau yang tajam. Dinda terkejut
mendapati tanganku menggenggam pisau. Dia menjerit, namun kututup mulutnya
dengan tanganku. Aku memojokkan Dinda. Amarahku semakin menjadi, bayangan
kebahagiaanku bersama David dan Kak Damar yang telah dia rebut semakin
membuatku ingin segera melakukan. . . . .
“DON’T DISTRUB MY BROTHER !” tegasku.
“AAARRRRRHHHHH…..”teriak Dinda sembari kubungkam lebih erat mulutnya.
Dengan sekuat tenaga aku menusuk Dinda dengan pisau yang ku genggam.
Berulang kali. Hingga darah memunyembur kemukaku. Aku tak peduli, aku
melampiaskan segala dendam dan amarahku. Dan yang aku bayangkan adalah, hidupku
bisa lebih bahagia tanpa dia.
Aku merasakan keheningan, kurasakan nafas Dinda yang terhenti. Aku
melepaskan bungkaman tanganku darinya. Aku tersenyum puas. Merasakan kemenangan
atas pelampiasan dendam dan amarahku.
“Bye… mimpi indah.” Aku mencabut pisau yang tertancap di perut Dinda.
Langganan:
Postingan (Atom)