Jumat, 30 Maret 2012

cerpen #2


Dipenghujung Mata Bersenja
Pagi itu, kala sang surya merekahkan cahayanya membangunkanku dari mimpi semalam. Kulihat jam di meja yang menunjukkan pukul 5 pagi. Kuambil kacamata berframe bening pemberian Ammar, sahabat karibku. Aku segera wudhu dan mandi.
Brrr…..aku keluar kamar mandi dengan tubuh gemetar, meskipun tak begitu pagi airnya masih saja dingin. Aku duduk sejenak di pinggir kasur kuningku, mengingat-ingat tentang jadwalku hari ini. Aku menengok ke tembok yang bertempelkan selembar kertas, “ belajar sama Ammar “ . dan aku baru teringat kalau pagi ini aku harus belajar dengannya. Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku, karena aku ikut ujian susulan pelajaran kimia. Segeraku berlari kearah meja belajar dan memasukkan setumpuk buku kimia yang tebal-tebal itu kedalam tasku.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuruni tangga rumah, dan mengambil minuman yang telah disiapkan oleh ibukku.
“loh, kok buru-buru gitu, Din ?” Tanya ibukku.
“E…. aku mau belajar sama Ammar dulu buk”
“lha tadi malam kamu ga belajar ?”
Dengan perasaan tergesa-gesa. Aku segera berhenti, mendekati ibukku. Dan menaruh tasku di meja makan. Dengan nafas panjang aku mulai menjawab.
“ Ibukku sayang, Addin berangkat dulu ya? Doain bisa ngerjain ujiannya, terus dapet nilai bagus.”
Dengan suara lemah lembut dan memasang muka tersenyum, aku mencoba menenangkan ibukku. Aku cium kedua pipinya sembari memeluk ibu. Terasa lama sekali aku tak merasakan hal seperti ini, dan aku baru menyadari kalau pagi ini adalah momen yang amat jarang aku dapatkan. Di pagi ini ibukku masih dirumah.  Bahkan menyiapkan minum untukku.
“terima kasih, ibu. Mmmuah”
Dan ibukku hanya tersenyum manis, yaa hanya ibukku yang punya senyum paling manis, hehehhe. Di depan rumah ternyata Ammar sudah menungguku.
“ selamat pagi, nona Addin. Sudah siap belajar dengan saya ? “ Ammar menyambutku dengan tersenyum.
“ loh, katannya belajar dirumahmu, Am. Kok kamu malah nunggu disini? Gimana sih?.
“ga apalah, mending kita belajar dirumah pohon aja. Kan masih pagi gini, udaranya pasti masih sejuk. Terus enak deh buat belajar. Udah siap belum buku-bukunya?
“yaelah, gitu yaaa…. Ahahhaha. Oke deh. Udah siap semua bos.”
“yaudah, cepetan ambil sepedamu.”
Akupun lari ke garasi dan mengambil sepeda kuning kesayanganku. Aku dan Ammar bersepeda menuju rumah pohon. Ya, tempat favorit kita. Sudah sejak SD kami berteman hingga SMA kelas 3 ini. Sampai-sampai orang tua kami juga saling berteman dekat. Dan rumah pohon yang akan kami tuju adalah tempat yang dibuatkan ayahku buat aku dan Ammar bisa bermain tanpa harus berkeliaran kesana kemari. Maklumlah, namanya juga dulu masih anak-anak. Pasti bawaanya kemana-mana. Nah, karena kami suka rumah pohon, makannya tempat itu adalah tempat yang mengesankan bagi aku dan Ammar. Kami sering menghabiskan waktu bermain disana. Tiap berangkat sekolah, Ammar selalu menungguku di depan rumah. Dan berangkat sekolah bersama. Dia adalah teman terdekatku. Teman terbaikku juga. Dia adalah seorang laki laki yang sabar menghadapi segala tingkah lakuku, yang kalau dipikir-pikir sih bikin jengkel, heheh. Dia juga sering menyemangatiku ketika aku sedang tak ada hasrat apapun. Dan satu hal yang tidak aku dapat dari temanku yang lainnya, dia adalah laki-laki yang dapat mengerti wanita. Menurtku sih begitu, jadinya aku nyaman berteman dengan Ammar.
Sampai di rumah pohon, aku berhenti sejenak dan melihat sekitar. Rasanya lama tak ketempat ini,  ada perasaan rindu menyapaku. Aku turun dari sepeda dan berdiri tepat dibawah pohon nan rindang.
“wah, tumbenan banget tempatnya bersih gini. Daun-daunnya ga ada yang gugur.” Kagumku.
“ya dong, sapa dulu yang bersihin. Buat kamu nih, biar sukses ujiannya. Kurang apa coba aku.”
Dengan semangatnya aku langsung naik ke rumah pohon dan menikmati indahnya pemandangan gunung-gunung berjejeran. Ammar yang hanya bisa tersenyum, membawakan tasku yang penuh dengan buku-buku.
“neng, lain kali bawa koper sekalian yaaa… biar mantep.” Keluh Ammar dengan mukanya yang mengerut.
Dan kami pun tertawa lepas.
Pagi nan cerah itu, sang mentari mengepakkan sayap cahayanya. Menyinari buku-buku dan daun daun. Ammar sangat sabar mengajariku kimia. Segala pertanyaan dariku dijawabnya dengan sangat tenang. Yah, beginilah punya sahabat yang pintar. Bisa ngajarin kalo ga bisa. Saat aku menulis cara-cara yang ia tulis. Sekejap Ammar terdiam. Entah mengapa, aku merasa ia menatapku. Tapi tak ku hiraukan. Tapi, beberapa detik kemudian aku merasa ada sesuatu.
“ kenapa ? “ tanyaku.
Dia hanya tersenyum, dan menghela nafas. Melihat pemandangan sekitar. Sambil menggerakkan kedua tangannya. Lalu ia berdiri.
“ sudah lama ya kita bermain disini, mulai dari kecil. Saat kamu masih doyan nangis, aku sering jahilin kamu. Inget ga dulu kamu jatuh dari tangga ini, terus dengan sekuat tenagaku aku gendong kamu. Hahhahah, mana kamu ngompol segala.”
Sekejap aku berhenti menulis, tersenyum malu sambil menundukkan kepala. Bayangan masa kecil itu mengelilingi kepalaku.
“udah ah, apaan sih. Itukan masa kecil. Jadi, makasih ya pahlawan kesiangan udah nolong aku, wek !” jawabku judes.
“yee, malu yaa… wkkwwkk. Dasar cengeng. Jatuh gitu aja nangis. Ga kenapa-kenapa juga.”
“sooo… penting?”
“ya deh, nona Addin ngambek.”
“mending cek deh pekerjaanku, nih…” pintaku, sembari meletakkan kertas-kertas yang kutulis.
Dengan penuh semangat Ammar melihat pekerjaanku. Dia pun tersenyum sembari melihatku.
                “ Aku yakin kalo kimianya bakal dapet sempurna.” Pujinnya.
                “ Amin, terima kasih Ammar. Kamu buaik BGT deh.”
Aku berdiri sambil tersenyum, semangat serasa bergelora di hatiku. Dan saat itupun aku yakin bisa menjalani ujian kimia yang harus aku hadapi, tanpa merasakan gelisah apapun.
“ siap nona ? kita meluncur ke sekolah.” Ajak Ammar.
Dengan sigap aku bereskan buku-buku dan turun dari rumah pohon. Entah mengapa Ammar terlihat ceria sekali pagi itu. Disepanjang perjalanan ke sekolah dia bercerita tentang ujian yang ia hadapi. Akupun menikmati segala celotehnya sembari melihat pemandangan yang lama tak aku lihat.
“ pasti kangen sama suasana sejuk seperti ini. Ahhahaha, daripada dikamar rawat yang mengerikan. Sekarang udah sehat kan? Harus ceria dong, tau ga… dulu waktu kamu sakit aku berangkatnya sendirian lho. Ga ada temannya.” Celoteh Ammar.
“kasian sekali, terus mainnya sama sapa?”
 Ammar hanya menggelengkan kepala.
 Maklumlah, Ammar adalah tipe cowok yang kurang pintar bersosialisasi, sampai-sampai aku tak pernah melihat dia berbincang akrab dengan temannya. Sudah hampir 3 bulan kami tak bermain bersama, karena aku harus istirahat sejenak di rumah sakit. Sebenarnya aku sangat rindu dengan suasana bersepeda dengan Ammar. Dan sekarang aku bersama sahabat terbaikku, Ammar. Seakan merekatkan kembali semangat sekolahku yang luntur. Aku hampir tak mau melanjutkan SMA setelah keluar dari Rumah Sakit. Tapi Ammar membuatku seakan keluar dari awan hitam yang mengelilingi pandanganku.
Sepeda terus kami kayuh. Sampai akhirnya di sekolah, 5 menit sebelum ujian dimulai. Aku tersenyum kepada Ammar dan dia pun memberiku tanda untuk semangat. Aku berlari ke sekolah. Yah, rasanya lama sekali tak merasakan berlarian menuju kelas, karena dulu hampir tiap hari aku dan Ammar telat masuk sekolah. Dan kami sering melakukan ini bersama, berlari-lari ke kelas. Yah, masa SMA bersama Ammar yang paling mengesankan. Sampai sering diingetin sama guru-guru.
 Di depan kelas, suasana dingin menyigap tubuhku, aku mencoba menata nafasku yang tak teratur.  Aku masuk kelas, dan di kelas itu hanya ada 2 orang siswa dan 1 pengawas.
Jam pun berputar, setelah menyelesaikan ujian kimiaku. Aku pulang dengan suasana hati yang  lega. Aku mengambil sepedaku dan pulang kerumah. Dirumah, seperti biasa. Hanya ada bibi yang sedang membersihkan dapur. Orangtuaku sangat sibuk, sehingga aku amat sangat jarang melihat mereka berkumpul. Aku masuk kamar dan mendapati sepucuk surat di kasur. Aku lihat suratnya,
“ pasti dari Ammar nih, pake warna biru-biru segala. Dasar blue boy “
Nona Addin, udah pulang sekolah? Sehat kan ? main yuk, aku tunggu di tempat biasa. PENTING CEPETTAAAANNNNN !!!!!!
Hmm, tanpa mikir aneh aneh aku pergi ke rumah pohon. Disana Ammar sedang bermain gitar kesayangnya, aku mendekatinya. Kulihat raut wajahnya yang berbeda dari tadi pagi, sedih.
“kenapa, Am ?” sapaku.
Dia hanya bernyanyi, menyanyikan lagu mellow . Padahal aku paling sebel denger lagu itu. Yah, demi teman yang lagi sedih, ditahan deh sebelnya. Dengan rasa penasaran aku memandang Ammar, mencoba menyadarkan dia kalau aku ada di dekatnya.  Tapi, ga respon.
cintaku, bukanlah cinta biasa.
Jika kamu yang memiliki,
Dan kamu yang temaniku seumur hid……” Ammar bernyanyi dengan raut sedih.
“ AMMAR, kamu kenapa sih. Tadi nyuruh aku kesini, aku udah kesini eh kamunya malah gitu, cerita dong. Aku pengen tau, ada pa sih.”
Aku segera memotong nyanyian merdunya, aku merasa sangat sebal. Disaat serius seperti ini, masih saja dia bernyanyi, apalagi dengan lagu yang jelas-jelas membuatku pusing. Aku tak suka lagu mellow !. Huh.
“ tadi pagi, mamaku telfon. Besok bulan Juni aku ke London. Nerusin kuliah disana.”
                Sejenak nafasku terhenti, mencoba mengartikan segala ucapan Ammar. Dengan tanpa ekspresi, hatiku merasa seperti tertelan kegelapan.
“ loh, bagus dong. Kan peningkatan. Diluar negerikan lebih baik.” Sahutku.
“ so, bakal lebih baik kalo kita ga bisa ketemu lagi ?” dengan tatapan layu, Ammar menengok ke wajahku. Aku merasakan hatinya yang sedang gundah. Sebagai teman yang baik, aku mencoba untuk menghiburnya, memberikan semangat untukknya. Meskipun hatiku juga tak bisa menerima kenyataan.
“ kemanapun kamu pergi, kita tetep bisa berteman kok. Teman sejati kan ga bisa putus walaupun terbentang jarak menghadang.” Jawabku sambil memasang wajah manis. Mencoba menghibur Ammar.
Aku memegang pundaknya,
“udah deh, teknologi udah canggih. Kita masih bisa connect kok. Jangan sedih gitu dong. Harus banyak bersyukur kan orangtuamu masih sanggup ngasih biaya buat kamu. Biar cita-citamu kewujud, Am. Ya? Jangan sedih gitu dong. Masih inget janji kita ga ? kita jadi dokter yang hebat. Yang  bisa ngebantuin orang-orang yang lemah diluar sana.”
Ammar pun tersenyum. Dan aku bahagia bisa membuatnya tersenyum. Tapi sebelnya, dia malah ngelajutin lagunya Afgan yang terpotong tadi. Yahhhhh……
…………………………………………….
Beberapa bulan kemudian, hasil pengumumuman kelulusan. Aku dan Ammar mendapat nilai Kimia yang sama, ya seperti yang dikatakan Ammar bulan lalu. PERFECT. Aku sangat senang sekali, secara Ammar adalah siswa yang bisa dikatakan ahli kimia. Dia memberiku selamat. Begitu pula aku.
“gimana kalo sepedahan keliling kebun, pasti enak banget. Kan kita udah lama ga maen-maen, Din. Aku pengen main kesana, sebelum pergi ke London.” Ammar memegang tanganku sembari menarikku menuju sepeda. Perkataan yang baru saja terucap dari mulutnya membuatku sedih. Aku harus menyadari kalau tak lama lagi dia akan pergi. Meninggalkan aku. Entah, aku merasa moodku berubah sangat buruk.
Selama perjalanan bersepeda, aku hanya terdiam. Memikirkan betapa sepinya hariku tanpa Ammar. Membayangkan betapa basinya hari hariku tanpa bercanda dengannya. Dulu, aku selalu membayangkan kuliah bersama Ammar, saling menyemangati. Dan wisuda bersama. Dia dulu juga sempat bercerita kepadaku, kalau kita harus bersama-sama terus. Yah, aku dan Ammar seakan terikat persahabatan yang sangat kuat.
                Bayangan ilusi terus terbenak difikiranku. Sama sekali aku tak bisa bersikap semangat di depannya. Sedangkan, aku melihat Ammar. Dia sepertinya sangat bersemangat untuk keluar negeri. Melanjutkan kuliahnya. Setelah lama kami menghabiskan hari itu, senja mulai menyapa. Ammar mengajakku untuk ke rumah pohon. Sampainya disana……
“ wah, indah sekali ya hari ini. Kita bisa lulus bareng, sepedahan bareng, menghabiskan hari ini bareng-bareng juga. Aku seneng banget, Din.”
Aku hanya berjalan dan naik ke rumah pohon. Aku masih membayangkan masa-masa SD ku bersama Ammar bermain disini, sampai sekarang. Penuh cerita.
“kamu berangkat kapan, Am?” tanyaku pelan.
Raut wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Dia mendekatiku. Aku merasa agak bersalah, karena menghancurkan perasaan senangnya. Dia berfikir, menundukkan kepala. Entah apa yang ada di otaknya.
“aku hanya bisa berdoa, semoga kita bisa bertemu kembali.” Tegasku.
Dia menatapku dengan penuh kebimbangan.
“ aku, kamu. Kita bersahabat dari SD, Am. Banyak sekali hari-hari yang kita lewati. Sedih dan senang kita selalu hadapi bersama. Entah apa yang kini aku rasakan, seakan tak bisa menerima kalau kita harus berpisah. Aku sedih, belum bisa menerima. Tapi sebagai sahabat yang baik, aku turut senang menerima kalau kamu harus pergi ke London. Melanjutkan cita-citamu. Sebisa mungkin aku akan selalu ada untukmu. Meskipun nanti kita harus terpisah jarak. Am, kita tetap sahabatkan? “
Aku mencoba untuk berbicara serius dengannya. Selang beberapa detik, dia mulai menatapku kembali.
                “ Din, kita tetep sahabatan, meskipun nanti aku di London. Dan kamu disini. Sebagai sahabat yang baik pula, aku mencoba memberikan yang terbaik untukkmu. Aku akan selalu mengingat kebersamaan kita. Aku akan membuktikan, kalau nanti aku bisa meraih cita-citaku. Dan aku akan mengabarimu kalau aku sukses kelak.  Kamu tau gak? AKU PINGIN NANGIS ……..”
Suasana pun berubah menjadi lebih dingin, baru pertama kali ini aku melihat Ammar menangis.
 “ cengeng juga kamu, Am.” Gurauku
“ sedih tauk…. Hiks… hiks.”
“udah-udah.” Tenangku,
“ Din, aku janji bakal balik ke sini secepat mungkin. Setelah lulus. Kamu juga tungguin aku ya.”
Harapnya pasrah. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Mencoba untuk menerima ini. Meskipun hatiku masih merasa bimbang. Tapi… Ammar kaget mendapati aku yang mimisan, aku panik. Kupalingkan wajahku dari hadapanya. Mencoba meraih tisu yang ada di kantong rok ku. Pikiranku semakin menjadi, serasa semuanya bercampur menjadi satu. Sedangkan Ammar mencoba untuk menolongku,.
“ Addin, kamu kenapa ? kok tumben banget mimisan. Ini ini, pake saputanganku aja.”
Ammar mencoba menutup lubang hidungku dengan tisunya, tanganku yang mencoba meraih tisu tak cukup cepat untuk menutup hidungku sendiri. Ammar menyuruhku untuk duduk. Dan dia mulai menenangkan diriku. Saat itu, aku semakin merasa sedih. Kulihat wajah Ammar, dia sangat perhatian denganku. Aku semakin merasakan keberadaanya dihidupku selama ini. Terima kasih, Ammar. Aku menyayangimu.
. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. . .. . .. . . . . . . .. . . .  .. . . . . .. . . . . . .. . .. . . . . .. . . . . . . . .. .
                Pagi itu, aku harus berangkat secepat mungkin. Menuju rumah Ammar. Karena hari ini, dia berangkat ke London. Dengan perasaan mendebarkan, aku mencoba untuk menenangkan hatiku. Aku melihat jam di handphone ku yang menunjukkan pukul 7. Ku buka 11 missed call dan 5 sms dari Ammar . tanpa ku buka aku segera menuju ke rumahnya.
                Di depan rumahnya, aku tak melihat mobil Alphard keluarganya, gerbangnya pun tertutup. Terlihat sepi. Aku mencoba menekan tombol tamu. Dan beberapa saat, pembantunya keluar.
                ” Aduh, non. Kok ya baru dateng. Tadi den Ammar sama pak Agus baru saja keluar. Ke erpot,non.”
Dengan logat medok, bi Inah memberitahuku. Hmmm, aku semakin tergesa-gesa.
“ Ha? Udah berangkat dong bi? Ya udah, aku nyusul aja ke sana. Makasih ya bi.”
Di Airport, aku berlari menuju pintu masuk. Dengan nafas terseda-seda, aku meraba hidungku yang mimisan. Aku mencoba mencari Ammar dan sopirnya, pak Agus.
“Mana ya… aduh. Ammar kok cepet banget sih berangkatnya. Lupa apa sama aku.” Aku menggerutu tak jelas. Dengan hidungku yang terus mimisan, aku mencoba berlari kesana kemari mencari Ammar. Sejenak aku melihat kearah penerbangan. Jaket biru dengan tas hitam pemberianku Ammar naik ke pesawat yang akan lepas landas. Aku berlari mendekat, tapi tak bisa. Terhalang oleh satpam yang menjaga. Aku mencoba membujuk untuk memperbolehkan aku masuk. Tapi apa daya, aku tak bisa. Kepalaku serasa pusing, aku mencoba duduk dan melihat kearah pesawat itu. Aku melihat Ammar yang terlihat menunggu di depan pintu pesawat, namun tak lama ia masuk. Aku merasa menyesal sekali, tak bisa menemani dia disaat terakhir kepergiannya.
Ammar, baik-baik kau disana. Maafkan aku yang membuatmu kecewa. Tak bisa menemanimu disaat terakhir ini.
Aku termenung, mencoba untuk menenangkan diri sembari menghilangkan darah di hidungku. Tak lama, pak Agus menyapaku.
“neng Addin ya? Aduh neng, kok ya disini. Tadi di tungguin den Ammar ga dateng-dateng. Keburu take off, jadi berangkat duluan.”
“ iya, pak. Gak apa apa kok.” Sahutku sedih.
“ini ada pesen dari den Ammar. Tadi di titipin saya waktu berangkat.”
Pak agus memberiku sepucuk surat berwarna biru, dasar Ammar, biru mulu.
“oh, makasih ya pak.”
Aku menerima surat dari Ammar.
Sampainya di rumah,aku baru teringat tentang sms dari Ammar. Aku membacanya satu per satu.
·         din, kamu udah berangkat ? aku tungguin
·         nona addin, mau sampe kapan aku nunggu ? keburu take off nih.
·         ADDIN…. Aku tungguin di Airport.
·         din, L
·         aku berangkat dulu ya, din. Maaf kalo bikin kamu kecewa. Ini pesawatnya udah mau take off. Bye, take care u’r self. Don’t forget me, okay. Miss you.
Aku meneteskan air mata. Rasa penyesalanku masih terasa menyesak di dada. Andai aku membalas sms Ammar. Pasti dia takkan gelisah menungguku. Betapa bodohnya diriku yang tidak bisa memberi sahabatku waktu terakhir kepergiannya. Betapa sedihnya Ammar.
L Ammar, aku kangen kamu.
Kemudian aku mencoba membuka surat biru dari Ammar.
 To : Addin J
Never mind
I'll find someone like you
Din, kamu sahabat terbaikku. Terima kasih selama ini mau menemaniku. Bermain bersamaku. Kepergianku ini takkan menjadi akhir dari persahabatan kita. aku sudah tau semuanya, Din. Tentang kenapa kamu 3 bulan kemarin ga masuk sekolah, tentang kamu mimisan waktu itu. Dengan kenyataan yang aku terima, aku mencoba untuk memahami ini semua. Kemarin waktu aku menaruh surat di kamarmu, aku menemukan surat-surat keterangan dari dokter tentang apa yang terjadi padamu. Aku tak percaya, kenapa kamu gak pernah cerita sama aku ?  Din, selama ini aku cuman ingin melindungimu, menemanimu. Sebisa mungkin aku ingin menjagamu. Aku merasa bersalah tak pernah mengerti keadaanmu yang sedang lemah. Aku sering mengajakmu maen, sepedahan. Maaf ya, Din. Aku juga sangat menyesal tak bisa menemanimu dikala kamu sedang di rumah sakit. Sekarang, doain aku ya bisa lulus tepat waktu. Bisa jadi dokter yang hebat. Aku bakal cepet pulang dan mengobati penyakit leukemia mu, Din. Do the best for you. 
“ ku tak tahu apa bisa, kubertahan bersamamu. Tapiku tahu satu hal, kumenyayangi dirimu. Memang tak mudah memilikimu. Semua yang kita alami, dan telah kita jalani, semua tlah terukir dan takkan terganti di hatiku.” Lagu buat kamu, Din. Tunggu aku, aku akan memberikan segala hasilku di London. Cuman buat kamu, karena kamu bintang untuk jalan setapakku, Din.
Love

Ammar

Jantungku berdebar, aku tak menyangka Ammar mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Aku mencoba untuk tak membuatnya sedih dengan keadaanku. Aku menarik nafas, melihat fotoku dan Ammar di meja belajar. Ammar, selama ini ternyata aku menyayangimu. Lebih dari sekedar sahabat. Aku tak pernah berfikir kalau Ammar melakukan ini semua karena ingin mengobati keadaanku. Air mataku mengalir semakin deras. Berapa lama aku harus menunggumu, Am.
Waktu terus berjalan, setiap hari aku selalu menghabiskan senja di rumah pohon. Mengingat waktu terakhir kita bertemu sebelum kepergian Ammar. Aku menuliskan kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaanku di kayu-kayu rumah pohon.
Ammar, love you.
Ammar, are you okay in there?
I missed you.
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
                Tepat 4 tahun setelah kepergian Ammar,
Aku membuka mataku, aku dapati diriku sedang berbaring lemas di ruang ICU. Ibukku berada di sampingku dan ayahku yang mencium keningku. Aku berusaha sabar menghadapi ini semua.
“ammar belum ada kabar buk, yah ?” tanyaku
Ibu dan ayahku hanya menggeleng. Aku mencoba memahami, sudah lama aku tak mendengar suara Ammar. Apakah dia tahu keadaanku sekarang. Surat yang telah aku tulis beberapa hari yang lalu, kuberikan pada ibu. Aku menitipkan surat itu untuk Ammar. Dan aku pasrah kepada Allah. Aku memulai menenangkan diri untuk menghadapi operasiku. Aku sempat berbicara dengan kedua orangtuaku.
“ibu, ayah. Aku hanya bisa berterima kasih atas segala kasih sayangmu padaku. Aku belum bisa membahagiakan kalian.” Hanya itu kalimat yang aku katakan. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku merasakan hal yang berbeda pada orangtuaku. Baru kali ini aku merasa dekat, dan melihat mereka berdua menjagaku di detik-detik menegangkan di hidupku. Aku melihat ibuku yang meneteskan air mata, dan ayahku yang terdiam membisu.
“ Addin sayang sama ibu, sama ayah.”
Aku menutup mata dan merasakan obat tidur yang segera bereaksi di tubuhku.
Di dalam tidurku, aku bertemu dengan Ammar, yah… dengan tas pemberianku dan jaket birunya. Iya mendatangiku. Membawakanku kacamata bening darinya. Aku tersenyum dan mengapai tangannya. Namun, sekejap hilang. Aku mendengar suara yang lama tak kudengar, suara Ammar yang memanggilku.  Namun terasa aku kehilangan arah. Dan serasa melayang.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Ammar, duduk di rumah pohon sambil memainkan gitarnya, dengan kacamataku yang ada di pangkuannya. Dan jas sarjana yang menutupi pundaknya. Menyanyi mengiringi sang surya terbenam.
Dirimu dihatiku tak lekang oleh waktu
Meski kau bukan milikku
Intan permata yang tlah pudar
Tetap bersinar mengisi kesepian jiwaku….
Kucoba mem…..
Dia berhenti bernyanyi, Ammar baru menyadari berbagai tulisan yang aku tulis di dinding-dinding kayu. Dia tersenyum dan meraba-raba tulisanku. Seakan ingin mengungkapkan hal yang sama.
“ Addin, I miss you very much”
Dan Ammar sekali lagi membaca surat dariku
To : Ammar J
No one can nice like you do.
You take my arms to find my world
Ammar, semua yang terjadi adalah yang terbaik untuk kita. meskipun kita tak bisa bertemu kembali. Aku                 harap jangan pernah melupakan semua cerita kita. aku harap kamu bahagia meski tanpa diriku.
                                                                                                                                                                Love
                                                                                                                                                                Addin
Ammar menggenggam kacamata beningku, dan dia menarik nafas. Mencoba tegar….
Di senja yang akan berakhir ini, Ammar harus membuka lembaran cerita tanpa diriku, penyesalan masih terbesit.  Dia bernyanyi, mengakhiri senja hari itu.
Sempat tak ada lagi kesempatan ku untuk bisa bersamamu
Kini, kutahu bagaimana caraku untuk terus bersamamu
Bawalah pergi cintaku, ajak kemana engkau mau
Jadikan temanmu ,temanmu paling kau cinta
Disinikupun begitu terus cintaimu dihidupku
Di dalam hatiku, sampai waktu yang pertemukan
Kita nanti.

Dan lagu itu yang akan aku kenang, Ammar.
Terima kasih.

Alfin's cerpen

Don’t Disturb My Brother !
                                 
Alfinda Meilan


Senja telah tiba, suasana depan rumah sakit tempatku bekerja masih saja ramai. Disini aku merasa sangat sebal. Dua jam aku menunggu, namun sampai sekarang dia belum saja menampakkan batang hidungnya.
“Lupa kali ya itu orang jemput aku disini. Perasaan tiap hari jemputnya juga disini.” Keluhku.
      Aku berjalan mondar mandir sekedar menghilangkan amarahku. Beberapa saat kemudian aku dikagetkan dengan klakson mobil tepat menyala di depanku. Aku melihat mobil itu, dan segera menghampiri. Kaca mobil itupun terbuka.
 “Oh, masih inget ya kalo punya adik ?” omelku. Kakakku hanya tersenyum dan membukakan pintu mobil. Dengan kesal aku masuk dan menutup pintu mobil tanpa perasaan. Aku pasang muka masam.
“Aduh, Erlin. Maaf ya, tadi ada urusan sebentar di kantor. Yaa, semacam rapat mendadak gitu.” Kakakku mencoba menjelaskan.
“Iya, gak papa. Lagian kakak juga bukan sopir pribadiku.” Cetusku dengan dahi tertekuk.
Kakakku hanya bisa tersenyum dan membelai rambutku. Percakapan itupun berakhir. Aku melihat kakakku, teringat betapa sabarnya dia menghadapi segala omonganku yang sering kasar kepadanya. Yah, hanya kakakku yang bisa memadamkan api yang ada di hatikuku. Damar Ferdin Alanka, namanya. Dia adalah satu satunya orang yang aku sayangi di bumi ini, setelah 4 tahun sepeninggalan kedua orangtuaku. Dan namaku, Vianka Merlin. Aku adalah dokter muda di rumah sakit ternama di Jakarta. Aku dan Kak Damar tinggal berdua disalah satu apartemen daerah Kelapa Gading. Kak Damar  yang selalu membimbingku, dia adalah orang yang baik, sabar dan ramah. Meskipun aku sudah dewasa , tapi aku masih membutuhkan kasih sayang. Dan hanya kakakku yang mampu memberi itu semua. Kakakku meneruskan perusahaan alm.ayah. Banyak wanita yang tergila-gila karena ketampanannya, apalagi dia bisa dibilang pengusaha muda. Hmmmm, yah itulah kakakku.
Sampainya diapartemen tempat kami tinggal, aku segera ke kamarku. Melepas seragam putih yang membuatku gerah dan berganti baju santai, aku mengerutkan dahiku ketika ku lihat foto di meja.
“Apa apa an nih, kok masih ada disini sih.” Gumamku.
Sebuah foto yang membuat hatiku sakit. Ya, foto mantan kekasihku. Aku pegang foto itu dan menyobeknya. Mantan kekasih yang membuat hidupku kelam. Tak lama kemudian Kak dammar mengetuk pintu dan masuk ke kamarku.
“Erlin, makan yuk.” Ajak kak Damar.
Aku hanya termenung dengan keadaan tanganku yang penuh dengan sobekan kertas. Kak Damar mendekatiku, ia duduk disampingku sembari memelukku.
“Tak apa adikku sayang, lupakanlah semua yang telah terjadi. Ada aku yang ada disampingmu.” Hibur kak Damar.
“Aku hanya tak bisa melupakan betapa hancurnya hatiku karena dia, kak. Dia dulu adalah orang yang aku cinta. Tapi dengan tanpa bersalah dia menduakanku. Dia memutuskan semuanya, dan pergi dengan perempuan murahan itu.” Aku menangis di pelukan kak Damar.
“Iya kakak tau, cinta emang kayak gitu. Ga selamanya bikin seneng. Mending sekarang kita makan dulu yuk. Biar kamu juga ga sakit. Udah, ga usah mikirin David lagi. Laki-laki seperti itu tak pantas kamu pikirin.”
Aku memandang kakakku, hatiku serasa nyaman.
“Terima kasih, kak. Aku yakin bisa lebih baik tanpa dia. Dan aku masih punya kakak yang sangat aku sayangi.” Ucapku sembari tersenyum.
………………………………………………….
Beberapa hari kemudian, aku memperhatikan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh kakakku. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah. Lebih sering pulang malam, dan jarang makan bersama denganku. Dan aku pun merasakan kesepian.
Dirumah sakit tempatku bekerja, masih seperti biasa. Sebelum dua orang  wanita berpostur seperti model  dengan pakaian yang “waw” berjalan kearahku. Kayak pernah tau itu cewek deh.  Aku mencoba mengingat ingat,
“Ya, Ampun. Dinda”. Desahku.
Aku berjalan cepat menghindar, menundukkan kepala agar dia tak melihatku. Dinda dan temannya berjalan ke ruang doktor spesialis kandungan. Dinda adalah wanita yang membuat David pergi meninggalkanku. Sampai saat ini aku masih merasakan kekesalan yang menyelimuti batinku. Memang dia cantik, tapi aku sangat membenci dia. Aku mengangkat alis,dasar Cewek murahan, ga berubah dari dulu. Sok seksi dehhhhh. ngapain juga dia kesini. Kenapa ya. Perasaan hatiku tak menentu. Satu jam kemudian mereka berdua keluar dan duduk diruang tunggu. Berbincang dengan asiknya. Aku mencoba mendekati mereka tanpa mereka ketahui. persis intel nih aku, kayak orang kurang kerjaan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mendengar obrolan mereka.
“Eh, gimana pacar kamu, Din?” Tanya temannya.
“AH, biasa aja. Kemarin aku habis dibeliin laptop sama dia. Habis laptopku rusak sih.” Terang Dinda
“Wah, enak banget. Coba aja pacarku bisa kayak pacarmu, Din. Udah tampan, gagah, baik hati, udah kerja juga malah.”
“Aduh, ngimpi deh kamu punya pacar kayak punyakku. Helloooooo”
Iiiuuuccchhh, alay banget deh, pikirku.
“Wah, sialan kamu. Terus-terus, dia udah tau kamu kayak gini?” Tanya temennya lagi.
“Aduhh, ya gak lah. Mau jadi apa aku kalo dia tau aku hamil.”
“Ya mungkin aja dia mau tanggung jawab.”
……………………………
 Aku segera pergi dari mereka.
“Ha, gila banget Dinda hamil. Emang dia udah nikah apa sama David.”
Hari itu lagi lagi, perasaanku menjadi tak menentu. Dan sorenya, aku terpaksa naik bis kota untuk pulang ke apartemen. Betapa terkejutnya aku setelah melihat Dinda berada di depan tv bersama kakakku. Dengan sepiring mie yang berada di tangan kak Damar.
Aku melepas jaket dinasku, dan berjalan menghampiri mereka.
“APA APA AN INI? Ngapain kamu disini, dasar cewek bejat.” Amarahku menggelegar.
“Eh, Erlin. Kamu ga boleh kayak gitu.” Kak Damar menyela. Menengahi diriku diantara Dinda.
Dinda terkejut dia mencoba menata bajunya. Dan berdiri.
“Oh, jadi ini pacar kamu, kak? Cewek kayak gini mau kamu jadiin pacar?” dengan nada tinggi aku memarahi kak Damar.
Kak Damar menarikku kedalam kamar, aku tahu dia emosi.
“Kak ga ada cewek lain apa? Kenapa harus dia yang jadi pacarmu kak? Aku ga mau.” Marahku.
“ Kamu kenapa kok bisa kayak gini sih? Dinda itu baik.”
“Baik dari mana? Dia itu cewek murahan kak. Aku ga mau kakak sama cewek seperti itu.”
“ CUKUP ERLIN, kamu gak tau apa apa tentang Dinda. Awalnya aku mau ngenalin Dinda ke kamu. Tapi kamu ga sopan sama dia, datang-datang bukannya bawa ketenangan tapi kamu malah marah-marah ga jelas.” Terang kak Damar.
“ Ya udah, urus aja tu pacar kamu yang sok cantik. Aku sebagai adikmu sudah kamu lupain, akhir-akhir ini kamu sering pulang larut malam, jadi jarang kamu perhatiin. Cuman gara-gara cewek murahan itu ! . DAN AKU GA PERLU KENALAN SAMA CEWEK BEJAT KAYAK DIA. GA BUTUHHHHHHHHHH !”
Aku mendorong kak Damar keluar kamar. Aku menutup pintu dengan amarah yang berapi-api di dadaku. Aku tak percaya kak Damar mau berpacaran dengan wanita sebejat Dinda. Andai kamu tau semuannya, kak.aku ga bakal rela kamu dengan dia.
…………………………………………………………………………………………………………….
Keesokkan harinya, aku libur kerja. Dan diapartemen cumin ada aku, dan tv yang menemaniku. Rasannya tak ada yang enak buat aku lakukan setelah kejadian kemarin. Bel tamu berbunyi, aku segera membuka pintu. Ternyata Dinda… aku sudah malas sekali melihat wajahnya.
“Damarnya ada?”
“Gak ada.” Jawabku cuek.
“Ya udah deh, aku nitip surat ini ke Damar ya.”
“Ngapain juga aku mau. Asalkan kamu tau ya, Kak Damar ga pantes buat cewek sebejat kamu.”
“Helloooo, sapa juga yang mau ngambil Damar dari kamu. Kakakmu aja yang udah jatuh cinta sama aku.”
“Belum puas ya kamu udah buat hancur hubunganku sama David. Sekarang kamu mau ngehancurin hubunganku sama kakakku sendiri? Kak Damar gak akan terima kalo kamu udah hamil.”
Dinda tersentak, dia terkejut ternyata aku mengetahui dia hamil.
“Oh, jadi Vianka Merlin ini sekarang udah jadi dokter yaaaa, tau aku udah hamil segala. Emang kamu punya bukti?”
Dengan senyum pahit aku mencoba menegaskan semuanya.
“KAMU GAK BAKAL BISA MEMILIKI KAKAKKU.”
Pintu segera aku tutup. Beberapa saat kemudian, aku baca surat darinya, ternyata surat keterangan doktor kalau Dinda harus melakukan operasi. Operasi apa an nih, jangan jangan dia. . . . . Tanpa pikir panjang aku segera menuju rumah sakit yang tertera pada surat itu. Dan ternyata Rumah sakit dimana aku bekerja.
Disana aku mencari dimana Dinda berada. Aku membuka pintu ruang operasi satu persatu, Disebuah ruangan, yaitu ruang ganti. Aku dapati Dinda, dia mengelus-elus perutnya yang belum terlihat buncit. Aku mendekat dan menarik bahunya.
“Oh, jadi mau operasi aborsi gitu yaaa?” sapaku.
“Loh, ngapain kamu disini?”
“Udah, ga usah banyak omong. Bilang aja iya, kalo kamu mau aborsi. Dasar cewek murahan.”
“Eh, asal kamu tau yaa. Ini anak David. Pacarmu aja yang murahan.”
“Ga usah bahas David lagi, dan dia bukan pacarku. Terserah itu mau anak siapa yang penting aku ga mau lihat kamu bersama kakakku. Asalkan kamu tau ya, semua kebahagiaanku udah kamu hancurkan!.
“Hahaha, so aku ga boleh bahagia sama Damar?” Tanya Dinda tanpa rasa bersalah.
“Ga boleh dan Gak akan BISA !” jawabku.
Aku mendekati Dinda dan mengeluarkan sebilah Pisau yang tajam. Dinda terkejut mendapati tanganku menggenggam pisau. Dia menjerit, namun kututup mulutnya dengan tanganku. Aku memojokkan Dinda. Amarahku semakin menjadi, bayangan kebahagiaanku bersama David dan Kak Damar yang telah dia rebut semakin membuatku ingin segera melakukan. . . . .
“DON’T DISTRUB MY BROTHER !” tegasku.
“AAARRRRRHHHHH…..”teriak Dinda sembari kubungkam lebih erat mulutnya.
Dengan sekuat tenaga aku menusuk Dinda dengan pisau yang ku genggam. Berulang kali. Hingga darah memunyembur kemukaku. Aku tak peduli, aku melampiaskan segala dendam dan amarahku. Dan yang aku bayangkan adalah, hidupku bisa lebih bahagia tanpa dia.
Aku merasakan keheningan, kurasakan nafas Dinda yang terhenti. Aku melepaskan bungkaman tanganku darinya. Aku tersenyum puas. Merasakan kemenangan atas pelampiasan dendam dan amarahku.
“Bye… mimpi indah.” Aku mencabut pisau yang tertancap di perut Dinda.